Oleh: Adhisti Kurnia Yulianti
Identitas Buku
Judul: Di Tanah Lada
Pengarang: ZiggyZezsyazeoviennazabrizkie
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2015
Jumlah Halaman: 245 halaman (versi cetakan pertama)
Harga: Rp. 95.000,-
Di Tanah Lada (2015) karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie menghadirkan potret kekerasan domestik melalui sudut pandang dua tokoh anak yang bernama Ava (6 tahun) dan P (10 tahun). Dengan gaya penceritaan yang liris dan penuh metafora, novel ini menampilkan bagaimana pengalaman traumatis dalam keluarga membentuk cara anak memahami dunia di sekelilingnya. Karya ini menjadi menarik karena membenturkan kepolosan kanak-kanak dengan realitas sosial yang keras, memperlihatkan bagaimana kekerasan, ketakutan, dan kehilangan rasa aman dapat terinternalisasi sejak usia dini. Novel ini sekaligus merefleksikan fenomena yang marak terjadi dalam masyarakat Indonesia, di mana hubungan keluarga kerap diwarnai renggangnya peran orang tua khususnya figur ayah serta minimnya ruang bagi anak untuk merasa aman secara emosional.
Ava dan P adalah anak yang menyaksikan perilaku ayah yang agresif, sekaligus tidak hadir secara emosional. Pandangan mereka terhadap sosok ayah menjadi poros penting dalam membongkar luka yang mereka bawa, sebab kehadiran ayah tidak memberikan rasa aman, melainkan menjadi sumber trauma yang sulit didefinisikan oleh kesadaran kanak-kanak. Dialog sederhana yang diucapkan oleh keduanya
“Papaku jahat, sih. Sudah biasa.”
“Oh, ya? Papaku juga jahat, kok. Mungkin semua papa memang jahat.”
Dialog itu merepresentasikan internalisasi kekerasan yang telah menjadi bagian dari keseharian mereka. Ucapan polos tersebut mengandung lapisan makna yang kompleks, di satu sisi memperlihatkan kepolosan anak dalam menafsirkan realitas, namun di sisi lain mencerminkan bentuk penerimaan terhadap kekerasan sebagai sesuatu yang normal. Dengan demikian, dialog ini tidak hanya menjadi ekspresi spontan masa kanak-kanak, melainkan juga simbol dari kepolosan yang tercemari oleh pengalaman traumatis dan kurangnya kasih sayang seorang ayah.
Selain itu, dinamika tersebut berkaitan dengan fenomena sosial yang lebih luas, yakni kondisi Indonesia yang kerap disebut sebagai Fatherless Country. Istilah ini merujuk pada kurangnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan, baik secara fisik maupun psikologis yang menyebabkan proses pembentukan karakter anak tidak berkembang secara optimal. Melalui Ava dan P, Ziggy menunjukkan bagaimana minimnya keterlibatan seorang ayah meski ia hadir secara fisik, namun menciptakan kekosongan emosional yang berdampak pada tumbuh kembang anak. Kekosongan inilah yang kemudian mendorong keduanya mencari tempat aman satu sama lain, menjadikan pertemanan mereka ruang alternatif bagi tumbuhnya kelekatan dan harapan.
Relasi mereka mencerminkan bagaimana trauma masa kanak mampu membentuk identitas dan cara pandang anak terhadap dunia. Ava, misalnya, mengolah kekerasan yang ia saksikan ke dalam bahasa imajinasinya, sementara P menjadikan kedekatan dengan Ava sebagai bentuk perlawanan terhadap realitas yang menindas. Trauma tersebut juga menumbuhkan sikap tidak percaya (trust issue) terhadap figur ayah. Bagi keduanya, semua ayah dipandang sebagai sosok yang berbahaya. Bahkan, P menegaskan keengganannya untuk menjadi seorang ayah di masa depan, ia lebih memilih menjadi kakek, meskipun secara logis ia harus terlebih dahulu menjadi ayah sebelum menduduki posisi tersebut. Paradoks ini memperlihatkan betapa dalamnya ketakutan dan penolakan terhadap figure fatherly yang tertanam dalam diri mereka.
Novel Di Tanah Lada karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie mengartikulasikan tema utama mengenai disfungsi keluarga, kekerasan domestik, serta kurangnya keterlibatan figur paternal yang memadai suatu kondisi yang selaras dengan fenomena fatherless dalam konteks sosial Indonesia. Representasi tema tersebut disampaikan melalui perspektif naratif dua tokoh kanak- kanak, Ava dan P, yang memungkinkan pembaca mengamati luka psikososial sejak usia dini. Pilihan sudut pandang ini menjadi kekuatan estetis dan epistemologis karena menghadirkan pengalaman traumatis dalam bentuk tuturan yang polos, terbatas, dan imajinatif.
Dari sisi gaya kepenulisan, Ziggy menampilkan bahasa yang cenderung puitis, padat metafora, serta sarat simbol, sehingga menciptakan atmosfer naratif yang murung sekaligus kontemplatif. Teknik penulisan yang intim dan fragmentaris memperkuat representasi ketidakstabilan emosional tokoh, sementara hubungan Ava dan P merefleksikan upaya pencarian kelekatan serta ruang aman di tengah kondisi keluarga yang tidak suportif. Hal ini menjadikan novel tersebut signifikan bagi pembaca yang tertarik pada kajian trauma, relasi keluarga, dan konstruksi identitas dalam sastra kontemporer Indonesia.
Meskipun demikian, sejumlah aspek dapat dicatat sebagai kelemahan. Penggunaan gaya bahasa yang sangat liris dan eksperimental terkadang menghasilkan ambiguitas makna, sehingga pembaca dengan preferensi naratif yang lebih konvensional berpotensi mengalami kesulitan dalam menangkap pesan yang diimplikasikan. Selain itu, keterbatasan perspektif anak menyebabkan narasi tidak sepenuhnya mampu menjelaskan akar struktural dari kekerasan domestik yang terjadi, sehingga analisis sosial yang lebih luas tidak mendapatkan ruang yang memadai. Alur yang relatif statis, dengan minim dinamika konflik eksternal, juga dapat menimbulkan kesan bahwa perkembangan naratif kurang progresif. Namun demikian, Di Tanah Lada menawarkan konstruksi estetik yang bernilai melalui penggabungan tema relevan, eksplorasi psikologis mendalam, dan penggunaan bahasa yang literer.
Secara keseluruhan, Di Tanah Lada merupakan karya yang istimewa karena keberhasilannya mengolah isu kekerasan domestik dan kurangnya keterlibatan figur paternal melalui sudut pandang kanak-kanak yang liris dan emosional. Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie tidak sekadar membingkai trauma sebagai peristiwa personal, tetapi menawarkannya sebagai refleksi sosial yang lebih luas mengenai pola pengasuhan dan struktur keluarga kontemporer di Indonesia. Kepekaan pengarang dalam merangkai bahasa yang puitis, menghadirkan narasi yang intim, serta mengonstruksi relasi antar tokoh secara subtil menjadikan novel ini menonjol di antara karya sastra sejenis.
Adapun novel ini ditujukan bagi generasi muda yang sedang membentuk cara pandang terhadap relasi keluarga dan perkembangan diri, serta bagi individu yang akan atau sedang mempersiapkan diri menjadi orang tua. Karya ini dapat menjadi medium refleksi mengenai pentingnya kehadiran emosional, pola pengasuhan yang sehat, serta dampak laten dari kekerasan dan pengabaian dalam lingkungan keluarga.

![Sampul novel Di Tanah Lada [Adhisti Kurnia]](https://linikampus.com/wp-content/uploads/2025/12/IMG-20251220-WA0140-1280x700.jpg)
