LINIKAMPUS Blog Ulasan Resensi Panggung Perjuangan Merah Putih Sang Proklamator
Resensi Ulasan

Panggung Perjuangan Merah Putih Sang Proklamator

Sampul film "Soekarno" (Sumber: Film Soekarno Indonesia Merdeka, 2013)

Sampul film "Soekarno" (Sumber: Film Soekarno Indonesia Merdeka, 2013)

alat makan ramah lingkungan

Identitas Film

Judul: Soekarno : Indonesia Merdeka

Sutradara: Hanung Bramantyo

Genre: Drama biografi, action

Rumah produksi: Multivision Plus (MVP) Pictures  

Bahasa: Indonesia, Jawa, Belanda, Sunda, Bengkulu, Jepang

Rilis: 11 Desember 2013

Durasi: 137 menit (2 jam 17 menit) 

Film “Soekarno: Indonesia Merdeka” dirilis pada tahun 2013 merupakan karya Hanung Bramantyo mengangkat kisah perjuangan dan perjalanan hidup Soekarno sang Proklamator Kemerdekaan Indonesia. Berbeda dengan film garapan sebelumnya, film ini lebih berorientasi pada narasi sejarah dan patriotisme, menonjolkan perjuangan nasional dan politik Soekarno, serta menghadirkan sisi yang lebih personal dengan konflik internal tokoh utama Soekarno, dalam menghadapi norma-norma yang berlaku di masyarakat.

Film ini mengisahkan perjalanan hidup Soekarno, dari masa kecilnya yang bernama Kusno, dipenjara dan diasingkan hingga menjadi Proklamator Kemerdekaan Indonesia yang legendaris. Sejak muda, Soekarno sudah menunjukkan semangat nasionalisme yang kuat dengan aktif berorganisasi dan berpidato menuntut kemerdekaan. la mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) dan berani menyuarakan kemerdekaan, yang membuatnya beberapa kali dipenjara dan diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda ke Ende dan kemudian  ke Bengkulu. Di masa pengasingan, Soekarno tetap berjuang melalui pendidikan dan pemikiran politik. Di sana, ia bertemu dengan Fatmawati, seorang gadis muda yang kemudian menjadi istri dan pendamping hidupnya. Namun, sebelum menikah dengan Fatmawati, Soekarno sudah menikah dengan Inggit Garnasih, seorang wanita yang lebih tua darinya dan telah mendukung perjuangannya sejak awal.

Dalam film ini ketika Jepang menduduki Indonesia, Soekarno memanfaatkan momentum dengan membentuk organisasi perjuangan yaitu Pembela Tanah Air (PETA) dan Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) yang bertujuan menggalang kekuatan rakyat untuk mempersiapkan kemerdekaan yang akhirnya diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Momen bersejarah ini ditampilkan dengan detail penuh emosi, mulai dari jahitan bendera Fatmawati untuk Bendera Pusaka, proses penyusunan naskah proklamasi, hingga detik-detik Soekarno membacakan teks kemerdekaan di depan rakyat Indonesia.

Stasiun Ambarawa Semarang

(Sumber: Tribunnews) 

Proses syuting film ini dilakukan selama 70 hari di lokasi-lokasi bersejarah seperti Kebun Raya Bogor, Stasiun Ambarawa, dan Semarang yang masih mempertahankan arsitektur kolonial Belanda, sehingga memberikan latar yang autentik dan mendukung atmosfer zaman 1920-1945. Penggunaan ribuan figuran dalam adegan-adegan besar, termasuk adegan proklamasi kemerdekaan, menambah kesan megah dan nyata. Akting Ario Bayu sebagai Soekarno mendapat pujian karena mampu menampilkan karisma dan semangat tokoh proklamator dengan sangat baik, didukung oleh Lukman Sardi sebagai Mohammad Hatta dan Maudy Koesnaedi sebagai Inggit Garnasih yang juga tampil meyakinkan.  Alur cerita yang disajikan secara kronologis memudahkan penonton untuk mengikuti perjalanan hidup Soekarno dari masa kecil hingga proklamasi kemerdekaan. 

Film ini memang mendapat banyak pujian atas upaya menghadirkan suasana masa perjuangan kemerdekaan Indonesia yang berusaha merepresentasikan era kolonial Belanda dan penjajahan Jepang secara autentik. Namun, film ini juga tidak luput dari kontroversi, celah dalam hal alur cerita romansa yang cukup dominan sehingga terkadang mengalihkan fokus dari perjuangan politik Soekarno yang menjadi inti cerita, serta kesesuaian setting dan properti yang digunakan dalam proses syuting. 

Soekarno Muda di rumah orang Belanda, Soekarno saat membacakan pledoi, Hatta saat berada di rumahnya

(Sumber: Film Soekarno Indonesia Merdeka, 2013) 

Kebaya abad ke-20

(Sumber: journal.uinsgd.ac.id) 

Dalam film ini, beberapa kostum terlihat lebih modis seperti penggunaan jas dan dasi kupu-kupu yang terlihat sangat modern, dibandingkan dengan pakaian asli pada masa awal abad ke-20 hingga 1940-an.

Kostum militer pada film Soekarno Indonesia Merdeka

(Sumber: Film Soekarno Indonesia Merdeka, 2013)   

Tentara Jepang zaman sebelum kemerdekaan Indonesia

(Sumber: gramedia.com) 

Dalam film, beberapa seragam militer terlihat lebih mirip seragam tentara Indonesia setelah kemerdekaan, dengan potongan modern dan aksesoris yang lebih lengkap. Perlengkapan seperti pakaian militer dan senjata terlihat kurang sesuai dengan periode sejarah yang digambarkan, misalnya ada penggunaan seragam dan senjata yang tampak lebih modern dari era 1920-an hingga 1940-an, yang seharusnya dipakai. Padahal, pada masa pendudukan Jepang (1943-1945) biasanya berwarna coklat tua dengan desain sederhana dan atribut minimal. 

Film ini masih memiliki celah dalam hal akurasi sejarah dan sensitivitas budaya. Hal-hal ini menjadi pelajaran penting bagi pembuat film sejarah agar riset dan konsultasi dengan para ahli sejarawan serta keluarga tokoh sejarah perlu dilakukan secara lebih mendalam dan hati-hati sehingga karya yang dihasilkan tidak hanya menarik secara visual, tetapi juga dapat diterima secara historis dan kultural. Meski demikian, film yang bukan hanya sebuah drama sejarah, tetapi juga kisah inspiratif tentang keberanian, cinta, dan semangat membara untuk meraih kemerdekaan. Dengan penggambaran karakter yang kuat dan adegan penuh makna, film ini layak ditonton sebagai pengingat atau bagi siapa saja yang ingin memahami perjuangan dan jiwa nasionalisme sang proklamator Indonesia dalam meraih kemerdekaan bangsa.

Penulis : Mutya Erni Maulidya (Magang BP2M)

Exit mobile version