Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Tengah bersama Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa menggelar acara nonton bareng film bertajuk “Benteng Terakhir” di Gedung Auditorium Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Diponegoro (UNDIP). Nonton bareng ini dilanjut dengan diskusi membahas kehidupan pesisir serta hutan mangrove di Jawa Tengah. WALHI sebagai penyelenggara acara menganggap hal ini penting karena diharapkan dapat menggerakan hati masyarakat.
Acara dimulai dengan nonton bersama film dokumenter dengan tajuk yang sama lalu dilanjut diskusi. Seluruh elemen masyarakat diundang, mulai dari mahasiswa, warga yang tinggal di pesisir, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa tengah, serta Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Jawa Tengah pada Rabu, (10/09/2025).
Film dokumenter “Benteng Terakhir” bercerita tentang lingkungan pesisir pantai dan bagaimana dampak dari perencanaan tata ruang pesisir oleh pemerintah memengaruhi kehidupan warga, khususnya berdampak pada ekonomi, sosial, dan kehidupan warga sehari-hari.
Aris Ismanto, dosen Fakultas Perikanan dan Kelautan UNDIP memberikan tanggapan terkait film dokumenter ini.
“Jadi terutama mungkin dari penduduknya langsung ya, yang merasakan bagaimana degradasi mangrove yang terjadi dan dampaknya. Baik itu dampak secara langsung maupun tidak langsung, betapa pentingnya satu ekosistem yang bernama mangrove tadi,” jelasnya.
Mangrove memiliki potensi besar untuk perekonomian dan warga memanfaatkannya dengan membuat aneka ragam olahan mangrove. Seperti jenang, sirup, kopi, kripik, dan wingko. Warga memasarkan produk olahan ini melalui online, event, dan festival.
Syafik seorang nelayan dari Tambakrejo yang diundang sebagai narasumber mengatakan warga pesisir tetap harus melakukan penanaman mangrove. Ia menegaskan bahwa mangrove tetap menjadi penunjang kehidupan bagi para nelayan.
“Kita sebagai masyarakat tetap terus melakukan penanaman. Dengan adanya support dari berbagai pihak. Nelayan tetap butuh mangrove itu ada, penunjang kehidupan,” ucapnya.
Di sebelahnya, Usman seorang nelayan dari Roban Timur menceritakan tempat asalnya, dimana tanaman mangrove dan cemara menjadi ‘benteng terakhir’ dari tantangan pembangunan. Ia menambahkan bahwa pernah ada penanaman mangrove di garis pantai, namun tidak berakhir baik.
“Cemara dan mangrove menjadi benteng terakhir dari tantangan pembangunan. Pernah ada penanaman mangrove di garis pantai, namun gagal,” resahnya.
Ia juga menyayangkan belum ada tindakan mandiri seperti yang ada di dalam film dokumenter milik WALHI. Sayangnya, beberapa warga masih banyak yang menebang pohon mangrove secara diam-diam.
“Belum ada penanaman secara mandiri seperti yang ada di film. Masyarakat masih banyak yang belum sadar, masih banyak masyarakat yang menebang pohon mangrove secara diam-diam,” ungkap Usman menceritakan tempat tinggalnya yang masih butuh kesadaran akan lingkungan.
Zalya, Manager Kampanye dan Media WALHI, menceritakan dalam proses pembuatan film dokumenter ini melibatkan tiga desa pesisir, yaitu Desa Bedono, Tambakrejo, dan Roban Timur. Film ini sudah rampung sejak awal tahun, hanya saja baru sempat dibuat peluncuran dan diskusi hari ini. Ia juga bercerita tentang tantangan yang dialami, khususnya terkait permasalahan teknis.
“Sebenarnya filmnya cukup lama ya, 40 menit kurang lebih 45 menit. Kesulitan itu kayak kita nggak mau dimasukkan semua karena kepanjangan, tapi kalo nggak dimasukin daging semua gitu,” ungkap Zalya.
Suntiah atau kerap dipanggil Sun, seorang warga dari Tambak Lorok yang menjadi ketua dari Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia (KPPI). Ia mengungkapkan jika ia teringat akan masa kecilnya dimana garis pantai masih luas, sampai lama-kelamaan hilang terkikis mengakibatkan beberapa rumah hilang tenggelam. Upaya menanam mangrove sudah dilakukan, namun belum juga bertumbuh besar, sudah disapu habis oleh ombak.
“Waktu kecil saya itu, hutan mangrove sama hamparan pasir itu masih luas. Daripermukiman saya itu sekitar ada 2 km-an lah. Lama-kelamaan pantai itu hilang, terkikis, terkikis. Kita tuh sudah berkali-kali nanam mangrove. Tapi setelah kita tanam, baru segini, kena ombak hilang, kita tanam lagi, hilang lagi. Jadi, kita tuh sudah antara dilema dan galau,” jelasnya menceritakan masa lalu.
Suntiah juga memikirkan bagaimana nasib anak cucunya, apalagi soal pendidikan mereka. Ia menjelaskan bahwa dulu orang dengan pendidikan Sekolah Menengah Atas sudah dicap hebat. Ia berharap tempat asalnya sama seperti daerah lain yang ada di dalam film dokumenter WALHI, mendapatkan kehidupan layak, dan anak-anak mendapatkan pendidikan.
“Semoga di wilayah saya, seperti wilayah-wilayah yang lain (dalam film dokumenter), kemudian anak-anak juga punya kesempatan pendidikan, kesempatan kehidupannya juga layak lah,” harapnya.
Terakhir, Zain seorang pengurus dari DMC sependapat dengan film dokumenter WALHI bahwa fungsi mangrove tidak hanya sebagai penahan tetapi juga memiliki nilai ekonomi bagi warga. Menurutnya diskusi seperti ini harus dilanjutkan, melihat dari warga pesisir masih banyak yang hidup dalam susah.
“Bagi saya, diskusi-diskusi seperti ini mesti dilanjutkan. Saya melihat warga-warga di pesisir ini hidup dalam susah,” ungkapnya.
Acara diskusi bertajuk “Benteng Terakhir” ini dimulai pada pukul 13.00 WIB. Acara diawali pembukaan oleh Master Ceremony (MC). Dilanjut pemutaran film dokumenter berdurasi 45 menit, dan acara inti yaitu diskusi dengan menghadirkan lima narasumber dari perwakilan warga pesisir, akademisi dari Fakultas Perikanan dan Kelautan UNDIP, dan seorang pengurus DMC. Di akhiri dengan sesi tanya jawab yang selesai pada pukul 16.30 WIB.
Reporter dan penulis : Sultan, Aan
Editor: Lidwina