Oleh: Rona Ayu Meivia
心
Atap putih. Pemandangan yang sama. Aroma yang sama.
Secercah cahaya memaksaku membuka mata. Ah… rupanya aku kesiangan.
Tak lama kemudian, jantungku bergemuruh. Sebuah tangan menggenggam tangan kiriku. Aku menoleh. Ayah! Syukurlah, pagi ini aku senang sekali dapat melihat Ayah. Tapi seketika aku sedih melihat guratan-guratan di dahinya yang semakin banyak. Maafkan aku, Ayah.
Bukankah aku anak laki-laki tak berguna? Tidak semestinya aku begitu menyusahkan Ayah dengan membebaninya, menanggung semua kebutuhanku. Menanggung semua biaya pengobatanku.
Ya, aku memang penyakitan. Rumah sakit, obat-obatan, kantung darah sudah terlalu biasa bagiku. Aku memiliki penyakit hati semenjak kecil. Entah bagaimana itu bisa terjadi. Ayah hanya memberi tahu jika dulu aku terlahir prematur, bahkan Ibu tak bisa diselamatkan saat itu. Dan telah satu bulan aku menetap di bangunan dengan aroma khas obat-obatan, ditemani berbagai perlatan medis yang tak pernah aku berniat mencari tahu namanya. Aku, gagal hati.
“Sudah bangun, Chan*?” ucap Ayah sembari menegakkan kepalanya.
“Iya barusan bangun, Otoosan*. Oh iya, Otoosan ke sini jam berapa?”
“Tadi, sebelum matahari terbit”
Ayah memberi tahu kalau aku akan mendapat pendonor hati. Selalu seperti itu. Aku sangat senang mendengarnya, tapi bagiku kata-kata itu percuma saja dan semakin membuatku sedih. Aku tak ingin Ayah berjuang terlalu keras untuk diriku. Ayah terlalu memaksakan diri. Ia hanyalah pekerja bangunan.
“Otoosan, pundakmu berdarah.”
Selama ini, sudah sekitar tiga kali aku melihat bercak darah yang mengering di tubuh Ayah, bukan, tepatnya di kaos bagian bahu dan dadanya. Setelahnya, Ayah lebih memilih keluar dengan alasan membeli makan dibanding menjawab pertanyaanku.
Pukul 3 siang, masih di ruang inapku. Aku tengah bersiap untuk menunggu kedatangan seseorang. Biar kutebak pasti dia datang penuh dengan keringat, napas terengah-engah dan jangan lupakan rentetan kalimat maaf yang pastinya akan membuat telingaku mati rasa. Kupikir sebentar lagi dia datang! 1… 2… 3…
“Hisashi-kun*! Aa-ku.. A.. huft.” Benar sekali, persis seperti apa yang kuduga. Dasar gadis jelek. Haha…
Gadis itu berlari menghampiriku, sedangkan aku bersiap mendengar ocehan maafnya.
“Maaf! Maaff… Maafkan aku, Hisashi-kun! Ya!Yaaa… Kumohon maafkan aku!!!” ucapnya tanpa jeda. Tangannya kuat sekali mengguncang lenganku.
“Tidak! Kau telat lagi, Atsuko-chan.”
“Tidaakkk… kamu harus maafin aku. Maaf! Maaff…”
Aku menyerah. Terlalu lama membiarkan Atsuko merengek semakin membuat tubuhku remuk. Bukannya meminta maaf dengan memohon secara halus tapi dia semakin menjadi dengan memukuli lenganku tanpa ampun.
Sudah dua minggu, Atsuko selalu datang. Dia selalu memaksaku belajar dengan buku-buku yang dibawanya, hasil sekolah pagi tadi. Aku cukup malas sebenarnya. Tak ada keinginan untuk belajar sedikit pun. Tetapi, Atsuko memaksaku. Benar-benar memaksaku. Alasan yang sering ia lontarkan ialah “Sebentar lagi ujian kelulusan! Kau harus belajar!” Tidak ada pilihan lain. Akhirnya aku menerima ajakannya untuk belajar bersama.
Jadi begitulah. Setidaknya disaat tidak ada yang aku lakukan—kecuali memikirkan kematian—, aku belajar bersama Atsuko.
Hari cepat berlalu, musim panas pun berubah menjadi musim gugur. Semua pohon menguning dan menggugurkan daunnya. Daun-daun Momiji—daun yang gugur itu—memenuhi jalanan. Terbang tertiup angin dan hancur.
Seminggu ini, aku memiliki hobi baru. Setiap pagi sebelum matahari terbit, aku akan ke luar mencari udara dingin, tentunya dengan sekantung darah yang selalu terhubung dengan lenganku. Duduk di salah satu bangku panjang halaman rumah sakit sembari menatap Momiji yang berguguran.
Kuraup udara sekuat-kuatnya hingga rongga paruku penuh sesak. Segar sekali. Cukup lama aku hanya memainkan daun-daun Momiji. Setelah kepulangan Atsuko dua jam lalu, aku tak bisa tidur. Ya, Atsuko memaksa untuk menginap agar dapat menemaniku. Tapi akhirnya, tadi pagi-pagi sekali, Ibunya menelpon dengan omelan-omelan yang berhasil kudengar.
Tiba-tiba aku kembali teringat dengan kejadian yang akhir-akhir ini membuatku cemas. Pagi kemarin aku mendapati Ayah tengah bertengkar dengan Kouda-Sensei*—dokter yang menanganiku—di ruang dokter. Aku tak mampu menangkap apa yang mereka bicarakan, tapi cukup jelas aku mendengar amarah Kouda-Sensei berkata “Cukup jangan lakukan itu lagi!”, seketika aku khawatir setengah mati. Apa yang Ayah lakukan?
“Cukup jangan lakukan itu lagi!” teriak Kouda-Sensei.
“Kumohon, Sensei,” suara Ayah terdengar sangat memohon.
“Aku tidak akan menyerah, sebelum Sensei melakukan tindakan!”
Posisiku yang berada di balik ruang itu hanya menatap punggung Ayah yang melangkah pergi. Lagi-lagi netraku menatap suatu pada bahu Ayah yang tak asing lagi bagiku. Darah. Kali ini begitu ketara dan belum mengering.
Sebenarnya ada apa dengan Ayah? Apakah Ayah mengalami masalah di pekerjaannya? Aku semakin khawatir. Tidak seharusnya Ayah terluka karena aku.
Saat aku mencoba memastikan keadaan Kouda-Sensei, pintu ruangan itu telah tertutup.
Aku pun beranjak. Bayang-bayang Ayah tak bisa aku tahan lagi. Aku harus kembali ke ruang dokter dan harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Firasatku sangat kuat bahwa kali ini Ayah kembali menemui Kouda-Sensei di ruangannya.
Baca juga: Sepercik Darah Perjuangan
Sampailah aku di ruang dokter. Aku dapat mengintip dari celah pintu yang tidak tertutup rapat, semakin kudekatkan diri ke sebelah pintu. Dan benar! Aku mendengar suara Ayah dan Kouda-Sensei tengah berbincang. Berbeda dengan sebelumnya, suara Kouda-Sensei lebih pelan dan terkesan putus asa.
“Kumohon, Sensei. Aku sudah berusaha sekuat ini. Tolong sembuhkan anakku,” ucap Ayah.
“Maafkan aku, Mori-san*,” ucap Kouda-Sensei.
“Kau sama sekali tak menghargai usahaku! Bukankah ini sudah lebih dari cukup!” Ayah mulai membentak, namun Kouda-Sensei hanya bungkam. “Kumohon… Bukankan semua ‘hati’ yang kubawa masih dalam keadaan segar!” sambung Ayah.
Aku semakin tak tahan untuk membuka pintu lebih lebar. Aku tak sanggup melihat begitu banyak organ-organ penuh darah berceceran di atas lantai. Sekarang, aku tahu dari mana asal darah mengering di baju Ayah selama ini.
Tubuhku limbung, tak sanggup bergerak demi seinci pun. Pikiranku bekerja sangat keras, begitu pula hatiku yang terus mengatakan bahwa ini hanyalah kesalahpahaman. Tapi demi apa pun, ini nyata.
“Pakailah salah satu dari hati yang aku bawa, Sensei. Aku janji akan berhenti. Tolong selamatkan anakku,” Kulihat Ayah memohon-mohon dengan tangan yang mencengkeram kerah baju Kouda-Sensei.
“Dan kali ini aku membawa ‘hati’ seorang gadis yang bahkan seumuran dengan anakku.”
Kuharap pendengaranku salah.
Gadis seumuran?
Mendadak aku mengingat kepulangan Atsuko dua jam lalu.
Tolong katakan ini hanya lelucon.
Bersamaan dengan itu Ayah mengerang dengan pisau di perutnya.
Keterangan:
Kokoro (心) : Hati
-chan : Panggilan akrab/sayang. Biasanya digunakan untuk seseorang yang kekanakan.
Otoosan : panggilan untuk ayah (sendiri).
-kun : Panggilan akrab untuk laki-laki.
-Sensei : Panggilan untuk guru atau seseorang yang dihormati.
-san : Panggilan formal untuk seseorang yang tidak akrab atau baru dikenal.