Survei Sikap Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Terhadap Aksi Demonstrasi
Uncategorized

Keroncong dan Budaya Jati Diri Bangsa

Oleh : Suyadi *
Penampilan Rencang Rencong pada Seminar Nasional di Udinus (19/03) [Doc. BP2M]

Rentetan petikan
ukulele dan gitar, gebukan gendang, ditambah sentuhan keyboard, serta kekuatan bahasa
musik sang vokalis menjadi paduan yang mampu menularkan sensitivitas para
pendengar. Keroncong dipadu jazz yang
kaya improvisasi benar-benar mampu membuat pendengar larut dalam pertunjukkan.
Penampilan Rencang Rencong di Aula Gedung E lantai tiga Udinus, Kamis pagi
(19/03), seolah melupakan bahwa kehadiran mereka hanya untuk menyambut dua
narasumber, budayawan Sujiwo Tejo dan penulis Naga Bonar Akmal N Basral dalam
seminar “Budaya Jati Diri Bangsa.”

Perpaduan keroncong
dengan gaya kebarat-baratan yang dibawakan Rencang Rencong  menjadi pembukaan yang apik. Musik keroncong sebagai
musik khas Indonesia mengalami perkembangan. Beberapa tambahan alat musik modern,
bahkan lagu yang dibawakanpun bukan lagu Indonesia atau Jawa melainkan Lost In Wonderland.
Mungkin terlalu dini
mengaitkan apa yang ditampilkan Rencang Rencong untuk mengidentifikasi
perkembangan budaya jati diri bangsa. Seperti salah satu dalil Teori Radiasi budaya
milik Arnold Toynbee, aspek atau unsur budaya selalu masuk tidak keseluruhan,
melainkan individual. Seperti musik keroncong, keroncongnya tetap ada tetapi
sudah tak murni.
Secara sederhana dengan
menunjukkan dua buah foto, Akmal membagi perkembangan budaya menjadi dua, barat
dan timur. Barat bagi Akmal, menggambarkan orang-orang eropa dengan pakaian
berjas yang mampu meradiasi kelompok timur yang digambarkan oleh penduduk
jepang. “Dalam perkembanganya, nyatanya barat meradiasi timur. Lihatlah
bagaimana penduduk jepang sekarang berpakaian,” tutur Akmal.
Kebudayaan barat masuk
ke budaya timur tidak secara menyeluruh, tetapi hanya sebagian unsur kebudayan
barat saja yang bisa masuk. Mirip Rencang Rencong yang memilih menggunakan
bahasa inggris ketimbang bahasa indonesia, apalagi jawa. Bahkan pilihan busana
yang mereka kenakanpun sudah tak lagi mencerminkan musik tradisional.

Optimalisasi
Generasi Muda Sebagai Motor Keseimbangan Budaya Di Era Global menjadi subtema
yang dibahas. Akmal menggambarkan bagaimana potensi budaya jika ditekuni oleh
generasi muda. Beberapa cerita menarik dalam ajang World Championship of Folklore Bulgaria dia paparkan.

Tetapi Akmal tak
menggambarkan kearifan budaya yang kita miliki. Akmal hanya bercerita betapa
untungnya jika mempelajari budaya melalui cerita beberapa genarasi muda yang mewakili
pementasan budaya di ajang internasional. “Kebiasaan Jihan sama, keseharian
sama. Tetapi dia (baca: Jihan) sedikit dengan ketekunan meluangkan waktu untuk
mempelajari budaya kita.” Nah
pertanyaanya, apakah budaya hanya akan jadi ruang kompetisi tanpa ada pemaknaan
pada kehidupan sehari-hari?
*Pemimpin Umum BP2M

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *