Uncategorized

Menjadi “Sarjana”

Oleh:
Noor Juni W.*


Wisuda
bukan persoalan selesainya kita belajar, tetapi merupakan salah satu batu
pijakan hidup yang telah dilewati. Suatu pengantar untuk menuju pada tahap
berikutnya. Ibarat dalam sebuah video
game
kita akan naik level, di mana setiap level yang akan kita hadapi itu lebih
sulit lagi dari sebelumnya, mulai dari segi tantangan, waktu, dan banyaknya
masalah yang ada.
Saat
diwisuda seseorang telah diakui lolos dalam suatu level dan mendapatkan kunci
menuju tahap berikutnya yang lebih serius. Hal ini dikarenakan hidup sejatinya
adalah proses pembelajaran, baik itu dalam ranah formal maupun nonformal. Akan
tetapi,
bukan hanya kunci yang kita perlukan
(dalam hal ini ijazah) untuk menaklukkan level berikutnya, tetapi juga
pengalaman yang telah kita dapat dalam level sebelumnya.
 Suatu
kesalahan, di mana dan kenapa bisa kita berbuat sesuatu harus kita pelajari
supaya tidak terulang lagi. Pengalaman hidup yang barangkali tidak semua
mahasiswa bisa dapatkan akan menjadi senjata yang ampuh setelah lulus nanti.
Tentunya, bagi yang belum naik level sebisa mungkin mengumpulkan bekal yang
cukup untuk menghadapi tahap selanjutnya, agar nantinya tidak akan terombang-ambing
dalam ketidakjelasan hidup.
Sering
kita mendengar sarjana pengangguran di negeri ini, bukan perkara nilai akademik
mereka tidak bagus, melainkan karena banyaknya ketidaksesuaian. Ketidaksesuaian
ini mulai dari jenis pekerjaan yang berbeda dengan jenis lulusan, jenjang
pendidikan, sampai gaji yang tidak sesuai dengan harapan para pelamar kerja.
Universitas
bukanlah perkara mencetak sarjana sebanyak-banyaknya, tetapi lebih kepada
bagaimana menciptakan lulusan yang berbeda dari orang yang tidak berpendidikan.
Sarjana yang (diharapkan) mampu mengubah hidupnya ke arah yang lebih baik,
bahkan mengubah negeri ini ke dalam tatanan yang apik. Tetapi,
dewasa ini universitas seolah menjadi tempat penunda pengangguran, dari
pengangguran lulusan SMA menjadi pengangguran lulusan universitas.
Universitas
hanya tempat mencetak para sarjana, bukan tempat untuk mencari pekerjaan.
Setelah lulus sarjana itulah yang bertanggungjawab akan kehidupannya sendiri,
bagaimana ia memanfaatkan gelar sarjana untuk mendapat pekerjaan atau (bahkan)
memanfaatkan semua pelajaran yang ia dapat untuk membuka lapangan pekerjaan
untuk diri sendiri sampai orang lain. Melalui ini kita harus bisa berpikir
lebih terbuka, kita tidak harus menjadi salah satu di antara sekian banyak
pelamar tersebut.
Lulus
dengan IPK yang tinggi belum bisa menjamin akan mendapatkan pekerjaan yang
baik. Hal yang tidak kalah penting adalah soft
skills
yang dimiliki seorang Sarjana. Lebih beruntung lagi adalah mereka
yang bisa memanfaatkan soft skills
untuk menciptakan pekerjaan sendiri. Mereka tidak akan bergantung pada
kebutuhan pasar atau lapangan pekerjaan. Jadi,
di manapun
ia mau bisa menciptakan sebuah lapangan pekerjaan sendiri.
*Mahasiswa
Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan Angkatan 2010

Comment here