Tak Sekadar Ramalan
Uncategorized

Tak Sekadar Ramalan

Oleh:
Eva R. Utomo
Pagi itu sedikit mendung. Meski
begitu, adanya Sunday Smile, Minggu (13/4) di sepanjang jalan Pusat Layanan
Kesehatan (Puslakes) hingga perempatan FBS dan F
MIPA mampu meramaikan suasana.
Sepanjang jalan tampak
berbagai komunitas yang mendirikan stand.
Ada komunitas Urea,
Jaico,
Pantera, Bhinneka Ceria, Skateboard
dan BMX, Metal Unnes, JKT 48 Unnes, Dongeng PGSD Tegal, dan Kubu Rupo. Ada pula
stand kewirausahaan antara lain BSO Kewirausahaan FE, Klub Kewirausahaan FT,
UVO, dan Semoc.
Ketika
menemui sebuah komunitas yang tampak
menarik, saya berhenti
sejenak.
Namanya komunitas A2I (Anak-Anak Independent), sebuah komunitas pecinta seni
tarot dan Grafologi. Ya, tentu saja anggota komunitas ini gemar membaca (bukan
meramal) sebuah kasus dengan media kartu tarot.
“Ilmu Psikologi menjadi
dasar permainan ini. Masing-masing kartu memiliki arti yang berbeda. Ada 78
kartu tarot,” ujar Ici, mahasiswa semester 8 jurusan Psikologi. Ia terlihat
asyik menyusun kartu tarot menjadi sebuah paramida.
Kebanyakan orang, menurut Ici, menganggap kalau tarot
adalah kegiatan ramal meramal. Hasilnya dianggap tidak benar, tidak berlogika. Ia  menegaskan
setiap
ilmu itu memiliki manfaat.
“Tak
kecuali tarot dan ilmu-ilmu grafologi,” tambahnya.
Tak lama berselang, seorang wanita mengunjungi stand
tarot juga. Ia memberikan pertanyaan tentang asmaranya ke salah
seorang anggota komunitas. Kartu tarot dijabarkan, kemudian pengunjung tersebut
diminta memilih tiga dari 78 kartu. Kemudian hasil dibacakan. Katanya, saat ini masih ada masalah dari pihak
laki-laki yang menginginkan waktu sendiri. “Jadi, harus lebih bersabar,” anjurnya.
Tidak
heran,
Ici biasa menemui banyak
pengunjungnya bertanya mengenai urusan asamara. “Ya, memang lazimnya tentang
asmara. Kalau nggak, masalah karir atau keuangan. Padahal, tarot nggak sesederhana
itu. Tarot bisa membantu seseorang menumbuhkan dan memaksimalkan potensi diri
serta kelebihan yang dimiliki,” ucapnya sembari tersenyum.
Saya beranjak. Mencari
komunitas lain untuk didatangi. Di tengah perjalanan saya bertemu dengan
seorang pengunjung Sunday Smile.
Mutaqim, mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, “Komunitas yang ada di Sunday Smile banyak yang menarik. Ada
beberapa yang belum kutahu. Tadi sempat
juga mampir di komunitas A2I. Tanya-tanya soal percintaan. Lumayan bisa menjadi
acuan bertindak ke depan. Tapi sayang, tarifnya masih terlalu mahal,” ujarnya
sambil terkekeh-kekeh.
Saya memutuskan untuk
mengakhiri perjalanan di Sunday Smile.
Saat  berjalan, sayup-sayup terdengar
suara instruktur senam, “ Satu…dua…tiga….empat..lima…” Suara itu
perlahan-lahan menghilang bersamaan dengan langkah saya yang kian jauh.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *