Memoar Satu Juni dan Pancasila
Opini Uncategorized

Memoar Satu Juni dan Pancasila

Hari Lahirnya Pancasila
Menyusun pazel Pancasila, mengenang hari lahirnya (dok. istimewa)
Oleh Susi Lestari*
Tanggal 1 di bulan Juni,
selama puluhan tahun masih menjadi angka keramat di Republik ini. Kata sebuah
adagium yang sering ditulis dan dipasang pada dinding, “jasmerah”–jangan
melupakan sejarah. Adagium itu, entah bagaimana seperti jodoh yang memberikan insiprasi
munculnya angka-angka keramat seperti 1 Juni yang lantas menjadi perayaan
tahunan. Ada kadang diperingati dengan boikot, ingar bingar, mengheningkan
cipta, atau kerap di jajaran mahasiswa melewatinya dengan aksi heroik dan
semacam teatrikal. Satu Juni ibarat sebuah pendulum yang di sisi kanan terdapat
bandul Pancasila, sedang di sisi kiri mencuat seorang tokoh besar Indonesia
yang namanya melegenda, Soekarno.
Jenderal van Heutsz kepada
Minke ketika berkunjung ke Buintenzorg pernah berkata, “Rasa-rasanya tak ada
orang yang sungguh-sungguh mengenal Hindia tanpa mempelajari karya-karya
Multatuli.” Petikan itu ada di novel ketika Tetralogi Buru karangan Pramoedya
Ananta Toer, Jejak Langkah.
Pram seperti hendak mengatakan cara mengenal sesuatu, kemudian mencintainya
adalah dengan membaca–apapun itu, yang berkaitan dengan sesuatu yang ingin
dikenal. Maka dalam suasana peringatan satu Juni yang masih  hangat,
membuka dan membaca risalah menggetarkan Soekarno tatkala mempidatokan sebuah
dasar “Weltanschauung”, di atas mana negara Indonesia hendak didirikan menjadi
amat krusial.Terlebih di tengah-tengah masyarakat yang saat ini lebih senang
dan jemawa karena berhasil membumikan bacaan-bacaan ideologi lain di luar
tentang Pancasila, yang meski tidak salah tetapi kurang pas saja di mata saya.
Setapak Jalan Soekarno 
Goenawan
Mohamad bilang Soekarno bukan seorang pendekar awal ideologi, meski namanya
kerap dikaitkan dengan Pancasila, ideologi negara ini. Saya sendiri lebih
senang menyebut Soekarno seperti jalan setapak. Kalau sedang naik gunung, jalan
setapak demi setapak akan mengantarkan seseorang ke atas puncak. Begitu pula
dengan Soekarno. Dia lewat kecakapannya memberikan gagasan secara pelan-pelan
menggambarkan tentang sesuatu yang dibutuhkan negeri ini saat merdeka nanti.
Satu Juni, pada saat
berpidato di depan Ketua BPUPK Radjiman Wedyodiningrat, Soekarno mengatakan
masyarakat kita gemar mengurusi hal-hal kecil sampai yang rumit. Cikal bakal
negara ini beserta masyarakat dan umbe rampe-nya memang sudah rumit, tidak
perlu ditambah-tambahi. Maka, ketika Soekarno mempertanyakan “Weltanschauung”
kepada anggota rapat yang hadir, dia memberikan lima dasar yang mempesonakan,
yang tidak rumit. Dasar itu, atas bisikan seorang ahli bahasa kemudian dinamai
Pancasila.
“Weltanschauung” itu terdiri
atas lima prinsip: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau
perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan sosial, dan Ketuhanan
yang berkebudayaan. Seseorang sederhana yang senang menyederhanakan sesuatu
itu, kemudian menawarkan tiga perasan menjadi: socio-nationalismesocio-democratie, dan
ke-Tuhanan. Lima menjadi tiga, tiga menjadi satu, maka Soekarno memberikan satu
dasar amat sederhana yang mencerminkan ketulenan Indonesia, sebuah negara yang
berdasarkan gotong royong. “Gotong Royong” yang menurutnya sebuah faham yang
dinamis, lebih dinamis dibandingkan kekeluargaan.
Sudah sejak bertahun-tahun
lalu, Soekarno telah meninggalkan negara yang dulu menjadi tujuan hidupnya,
menjadi alasannya berjuang. Namun, gelora gagasannya masih terus terngiang,
dikenang. Tidak hanya oleh pengagum-pengagum fanatiknya, tetapi juga oleh
segenap masyarakat Indonesia. Setiap tahun pun satu Juni akan terus diperingati,
meski tokoh besarnya sudah di karibaan ibu pertiwi.
Ada sebuah pepatah yang
begitu menarik dan dalam dari seseorang yang tidak saya kenal, “Sebab, pergimu
yang terjauh, adalah ketika kau jatuh cinta lagi kepada yang bukan aku.” Maka,
meski setiap tahun satu Juni selalu diperingati, bukannya semakin cinta
terhadap Pancasila, kita malah semakin menjauh dan merasa seperti kehilangan
sesuatu. Tahukah sebabnya itu? Lantaran bukan Pancasila yang mulai ingin kita
kenal atau cintai. Seperti kata Soekarno, masyarakat kita lebih senang
mempelajari sesuatu di luar dasar negara kita sendiri yang tentunya lebih
rumit, lebih tidak sederhana, dan lebih tidak Indonesia.

*Mahasiswa Jurusan Politik dan
Kewarganegaraan Unnes

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *