Survei Sikap Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Terhadap Aksi Demonstrasi
Uncategorized

Panggung

Oleh
Janoary M Wibowo
Sekadar
ingin tahu pendapatmu. Sebenarnya untuk apa kita melakukan semua ini? Akan
kukatakan padamu apa yang baru saja melintas di kepalaku. Karena dunia ini
menyedihkan, penuh penderitaan. Kita melakukan semua ini karena kita tahu itu.
Dan, semua orang pun tahu. Entah mereka meyakini yang mereka tahu atau sekadar
tahu. Tapi, bagaimanapun juga, dunia ini menyedihkan. Itu menurutku. Bagaimana
menurutmu, Merad?
Tidakkah kau lihat raut kekaguman mereka
ketika kau keluarkan kelinci dari topi tadi? Ketika kau bakar sapu tangan lalu
seekor merpati tiba-tiba muncul dari tanganmu? Tidakkah kau lihat kekaguman
mereka? Orang-orang butuh terkagum-kagum. Rutinitas sehari-hari membuat
orang-orang lelah. Menderita. Mereka butuh bertepuk tangan dengan lepas.
Tertawa lepas. Bahkan oleh tipuan sulap kuno dan lelucon konyol seperti yang
kau lakukan tadi.
Tak bisa dipungkiri, semua orang butuh mimpi.
Mimpi untuk sejenak keluar dari rutinitas. Dan, kitalah penjaga pintu itu,
Merad. Pintu tempat orang-orang yang sedih itu keluar masuk. Keluar dari
rutinitas realitas yang menjemukan, dan masuk ke mimpi yang melegakan. Di
panggung ini, kita menyediakan mimpi. Ya, hanya pesulap yang mampu
melakukannya. Pesulap tidak mengatakan semua mimpi bisa terwujud. Pesulap
menunjukkannya, tepat di depan mata mereka.
Orang-orang itu terlalu sedih untuk berani
mengakui kesedihannya. Namun, mereka rela membayar berapapun untuk keluar dari
kesedihan itu. Hari-hari kerja yang menjemukan, masalah suami-istri yang tak kunjung
rampung, waktu yang terus berjalan dan tidak sedikit pun memberi jeda.
Orang-orang butuh jeda. Untuk itulah, mereka datang ke bangku-bangku itu, di
depan panggung ini. Menyaksikan mimpi-mimpi yang terwujud. Menikmati jeda.
“Tapi, Hudi. Dari pekan ke pekan, panggung
makin sepi.”
“Karena mimpi itu berlari, kawan.”
“Berlari?”
“Ya, berlari. Yang sudah terwujud menjadi tak
menarik lagi.”
“Lalu mimpi yang masih menarik itu seperti
apa?”
Itulah, Merad, kawanku. Tugas kita adalah
menemukan mimpi-mimpi baru. Dan di depan mereka, kita mewujudkan semua itu.
Bukankah kita dibayar untuk itu? Komitmen, Merad. Mereka telah menukar
kesedihan-kesedihan mereka dengan tiket panggung ini. Komitmen, Merad. Kita
mesti menghormati mereka. Menghormati hukum alam. Yang memberi akan menerima.
Bukankah makanan yang kau makan barusan itu dari mereka? Kostum-kostum yang
rusak itu diperbaiki dengan uang tiket? Juga sewa panggung ini. Mereka sudah
memberi kita hidup, kita mesti memberi mereka mimpi yang terwujud. Di panggung
ini.
Dan, karena itulah, saudaraku, Merad. Kau dan
aku di sini, di panggung sepi ini. Menyiapkan mimpi untuk esok hari. Tapi,
mimpi apa? Adakah yang bisa kautemukan di kepalamu?
“Membebaskan diri di air?”
“Kau lahir kapan? Itu kuno.”
“Tubuh yang dipotong?”
“Masochist?”
“Ah, mengapa kau mentahkan langsung?”
“Karena usulanmu tak berdasar.”
“Semua orang suka bernostalgia,”
“Lalu?”
“Dan semua orang suka menonton darah
tercecer?”
“Jenius.”
“Yang mana?”
“Yang ‘dan’ tentunya.”
“Dan?”
Ya, dan. Orang-orang suka bernostalgia dan
orang-orang suka menonton darah tercecer. Kita gabungkan dua trik lama, dan
ciptakan hal baru. Bukankah begitulah awal mula sebuah kreatifitas? Oh, Merad,
tiba-tiba aku ingin menciumimu. Bukan. Bukan. Maksudku, menciumi kepalamu dan
kreatifitas yang dihasilkannya. “Oh, itu dari kepalaku ya?”
****
Sempurna. Peti kaca berisi air yang diputar
seperti kincir. Akan memberi kesan dramatis. Air yang tidak terlalu penuh
membawa kesan logis. Seperti mengatakan, pesulap sedang tidak berjuang membebaskan
diri sambil melawan batas kemampuan menahan napas. Tapi melawan laju pisau yang
akan segera melintas, menyayat apa yang ada di lintasannya. Bisa jadi itu
tubuhku. Pada kemiringan tertentu, kepalaku akan tidak tenggelam. Aku masih
bisa mengambil napas. Dan kondisi setengah badan dalam air, setengahnya lagi di
luar air, akan memberikan efek patah. Tubuhku akan patah. Seperti pensil dalam
gelas. Pelajaran di sekolah dasar, Merad. Ternyata kau masih mengingatnya.
Juga jalur pisau yang dipasang melintang. Itu
brilian. Pisau yang menempel di rusuk bawah akan melesat melintang ke rusuk di
seberangnya. Berbeda dengan trik potong tubuh lama yang membelah peti kaca
menjadi dua buah kotak. Pisau diagonal ini akan membelahnya menjadi dua
segitiga. Mengubah sedikit sebuah trik bisa berarti membuat trik baru. Kau
memang jenius, Merad. Aku semakin ingin menciumi kepalamu.
“Tapi aku belum tahu bagaimana kau akan
membebaskan diri?”
“Dengan keluar dari peti kaca itu hidup-hidup
tentu saja,”
“Bagaimana?”
Biar kupikirkan. Ah, iya. Bagaimana jika
tangan dan kakiku dirantai di tiap ujung peti kaca? Jadi, hanya ada dua cara
aku bertahan hidup, meringkuk di bawah jalur pisau atau bergantung di atasnya.
Tentu saja, meringkuk lebih mudah. Karena melepaskan rantai di tangan lebih mudah
dari melepaskan rantai di kaki. Kau tahu sendiri, rekor pribadiku adalah 40
detik untuk trik itu.
“Dengan peti yang diputar?”
“Itu tak menambah kesulitan,”
“Satu menit?”
“Ya, cukup.”
Dengan latihan, semua akan makin sempurna.
Ya, semua akan sempurna. Sesempurna mimpi yang terwujud. Sesempurna panggung
ini mengantar orang-orang yang duduk di bangku itu, dari rutinitas dunia yang
menyedihkan menuju mimpi yang melegakan. Di depan panggung kita, di
bangku-bangku itu, orang-orang akan merasakan kesedihan mereka terbang. Di dada
mereka, hanya ada jeda. Mimpi yang terwujud. Dan lega.
“Bagaimana jika kita tambahkan warna merah
pada air?”
“Darah?”
“Menambah ketegangan pada saat pisau
melesat?”
“Oh, iya, membuat ragu.”
“Ragu?”
Keraguan itu melahirkan kekaguman. Bawa
mereka sejenak pada kondisi ragu. Apakah pesulap itu masih hidup? Apakah trik
ini gagal? Lalu, abakadabra, pesulap berhasil. Trik ini berhasil. Mereka
terpana. Mereka kagum. Dan setelah hentakan itu membangunkan mereka dari
keraguan, kepuasan akan mengguyur mereka lebih dari yang mereka harapkan. Itu
semua karena darah.
****
Pamflet sudah tersebar ke seluruh penjuru
kota, bukan? Ah, sudah seminggu lalu ya? Itulah mengapa aku membutuhkanmu,
Merad. Aku tak perlu mencemaskan hal lain di luar panggung ini. Berapa tempat
duduk yang sudah dipesan? Setengah, ada? Bagus, jika begitu panggung tak akan
terlalu sepi. Kita akan membebaskan banyak orang. Ya, sebentar lagi. Di balik
tirai ini, kita akan menyaksikan wajah-wajah yang terbebaskan walau sejenak.
Itulah tugas kita, sebentar lagi.
Sekarang keluarlah, Merad. Sambutlah mereka.
Sambutlah mereka yang memenuhi ruangan ini. Keluarkan trik-trik pembuka. Lalu,
siapkan panggung untuk peti kaca itu. Jangan biarkan mereka terlalu lama
menunggu mimpi mereka terwujud. Tugas kita terselesaikan. Keluarlah, Merad. Aku
akan bersiap.
“Selamat malam, Hadirin. Malam ini, akan kita
saksikan apa yang telah kita tunggu, sebuah mimpi yang terwujud di depan mata.
Bagi yangmempunyai trauma terhadap keadaan tenggelam, silahkan meninggalkan
ruangan. Sebab, yang akan anda sekalian saksikan sebentar lagi adalah yang
paling mencengangkan. Dari semua adegan tenggelam, inilah yang paling membuatku
cemas. Bolehkah aku meninggalkan ruangan?”
“Baiklah, sebelum kecemasanku menghalangiku
untuk tampil, langsung saja kita lakukan,”
“Selamat menyaksikan,”
Semangka itu akan menjadi bukti pisau yang
melesat di dalam peti kaca itu asli. Ya, peti kaca yang nanti akan diisi air
dan aku berusaha membebaskan diri di dalamnya. Setelah aku membebaskan diri,
kalian akan terbebaskan. Ya, satu menit setelah aku masuk ke dalam peti kaca
itu, kalian akan terbebaskan. Selamat terbebaskan, walau sejenak.
Craakkk!!
Pisau sudah melintas cepat di jalurnya, air
dalam peti kaca yang berputar sekejap berwarna merah. Darahku? Kalian tak akan
tahu. Yang kalian tahu, kalian terpana. Kalian bertanya-tanya. Kalian ragu.
Kalian ketakutan mimpi kalian tak terwujud. Apakah pisau tadi mengirisku?
Apakah aku masih hidup? Air merah itu akan dikeluarkan dari lubang di bawah
peti kaca. Pelan-pelan. Sangat pelan hingga kalian bisa merasakan detak di dada
kalian semakin cepat. Ya, pelan-pelan kalian akan melihat aku meringkuk di
bawah jalur pisau, melepaskan rantai di kakiku.
Plok..plok..plok…
Tepuk tanganlah karena kalian bebas. Bukankah
terbebaskan dari yang bukan penjara itu sangat melegakan? Sangat. Ya, sangat.
“Terima kasih,”
Tangan kananku melintang, memegangi dada
kiri. Aku yang basah membungkuk memberi hormat. Di tengah panggung. Di sayap
kanan. Juga di sayap kiri.
“Terima kasih, sekali lagi. Dan selamat
malam.”
Selamat terbebaskan, wahai kalian. Ya, tepuk
tanganlah. Bersoraklah. Iringi perjalananku ke belakang panggung dan tirai yang
turun dengan tepuk tangan dan sorak sorai. Ya, terbebaskanlah. Nikmati selagi
bisa, sebelum kalian kembali ke dunia yang menyedihkan.
Merad, kini kau mengerti bagaimana
menyedihkannya dunia. Bagaimana besar tugas kita di dunia ini. Merad, jika kau
melihat tatapan mereka tadi, seharusnya kau mengerti. Peluklah aku, Merad. Aku
berhasil menjalankan tugasku. Kita berhasil.
“Dadamu berdarah, Hudi?”
“Hanya bekas air tadi.”
“Itu darah?”
“Siapa peduli?”
Kurasakan kedua lututku menghantam lantai.

Februari 2011

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *