Kami Sewa atau Pinjam Gedung?
Editorial Uncategorized

Kami Sewa atau Pinjam Gedung?


Laiknya novel yang
merupakan kumpulan bab demi bab yang berkaitan satu dengan lainnya. Kehidupan
mahasiswa aktif organisasi yang kerap disebut aktivis pun demikian. Katanya, untuk mengukuhkan eksistensi,
suatu organisasi atau Lembaga Kemahasiswaan (LK) harus
memiliki program kerja yang bombastis. Biasanya program kerja Lembaga
Kemahasiswaan tidak jauh-jauh dari menyelenggarakan acara bertema ngepop namun
tetap sarat pengetahuan dengan mendatangkan para pembicara yang ciamik.

Demi menyelenggarakan
sebuah acara dalam skala besar, tentu saja membutuhkan perlengkapan untuk
menunjangnya, salah satunya gedung sebagai tempat diselenggarakannya acara.
Gedung menjadi sesuatu yang paling krusial karena mempengaruhi faktor lainnya.
Kalau gedung atau ruangan sudah ditentukan, maka lancarlah segalanya.
Perguruan tinggi yang
berwawasan konservasi ini sedang giat-giatnya membangun
gedung di berbagai sudut kawasan kampus. Hal itu semakin memperkaya Unnes akan
keanekaragaman bentuk dan biaya peminjaman gedung. Barangkali akan membuat
mahasiswa lebih selektif dalam menentukan gedung yang akan dipinjam.
Berulang kali redaksi kami memperoleh penegasan oleh
beberapa pihak intansi Unnes bahwa intansi ini tidak memperkenankan adanya sewa
gedung, melainkan pinjam gedung. Sekali lagi, tidak ada sewa gedung, yang ada
pinjam gedung! Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sewa adalah meminjam
sesuatu dengan membayar uang. Sementara pinjam perihal meminjam sesuatu milik
orang lain untuk waktu tertentu.
Hal tersebut memutar ingatan kembali pada zaman Orde
Baru, tentang bagaimana penguasa memfungsikan politik bahasa selama periode
kekuasaannya. Kontrol dari penguasa rezim Orde Baru sangat kuat, bahasa tidak
luput di dalamnya.  Pembekuan bahasa
menjadi cara mudah menyeragamkan bahkan menguasai pikiran orang. Dengan bahasa
akan memudahkan rakyat menurut pada kebijakan penguasa.
Penghalusan bentuk kata agar dianggap memiliki makna
lebih sopan atau istilahnya eufimisme kerap digunakan dengan maksud mencapai
tujuan penguasa. Oleh karena itu, bahasa eufimisme lazim digunakan penguasa.
Dalam orde baru, masyarakat lazim menggunakan istilah “diamankan” dibanding
“ditangkap”, menggunakan istilah “yang berwenang” untuk menggantikan “aparatur
negara.”
Namun, dalam praktiknya gedung tetap dipinjamkan kepada
mahasiswa dengan membayar tarif sebagai biaya kebersihan dan perawatan. Jika
hanya dialokasikan untuk biaya kebersihan dan perawatan, mengapa sedemikian
mahal? Akibatnya, salah satu mahasiswa Unnes tidak jadi meminjam gedung karena
harga pinjam yang mahal (Majalah Kompas Mahasiswa Edisi 90).

Untuk itu, redaksi kami mengulas tema mahasiswa yang
keberatan terhadap harga pinjam gedung Unnes yang dirasa mahal. Harapannya, ada
informasi yang jelas antara birokrasi dan mahasiswa perihal peminjaman gedung.
Karena selain butuh ilmu dan ijazah, mahasiswa juga butuh kepastian. [Redaksi]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *