LINIKAMPUS Blog Seni Buku 43 Tahun Kematian Indonesia Raya
Buku Uncategorized

43 Tahun Kematian Indonesia Raya

Judul       : Indonesia Raya Dibredel!

Penulis    : Ignatius Haryanto
Cetakan   : 2006
Penerbit   : LKiS
Tebal        : xxviii + 327 halaman
ISBN        : 979-8451-69-4

Meskipun akhirnya surat kabar itu harus mati berkali-kali dalam pertarungan melawan rezim berkuasa. Akan tetapi, surat kabar itu tidak semakin melunak, malah semakin ganas mengkritik pemerintahan Soeharto yang tengah berkuasa saat itu. 

Hampir
setengah abad, tepatnya 43 tahun lalu, sebuah surat kabar yang sering melakukan
kritik, mati dibredel penguasa orba. Ini adalah kematiannya yang kedua dan
kematiannya yang terakhir. Surat kabar
itu bernama Indonesia Raya. Surat
kabar yang pertama kali berdiri tahun 1949 itu pernah dua kali dibredel.
Pembredelan pertama terjadi tahun 1959 pada saat rezim Soekarno berkuasa.
Pembredelan ini juga mengantarkan pimpinan redaksi (Pimred)-nya, Mochtar Lubis ke dalam penjara selama sekitar sepuluh tahun. Surat kabar ini kembali hidup pada masa rezim Soeharto yaitu
tahun 1968 untuk kembali dibredel pada 21 Januari 1974. Tidak ketinggalan sang
pimred kembali mendekam dalam
penjara.

Fakta sejarah ini membuktikan betapa surat kabar ini
tidak pernah kapok. Pembredelan
surat kabar dalam dua rezim yang berbeda, bahkan selalu diikuti dengan
penangkapan pimrednya. Hal ini menunjukkan bahwa
Indonesia Raya tidak mau berkompromi dengan penguasa yang ada dan berusaha berpegang teguh dengan pandangannya.

Membaca Indonesia
Raya Dibredel!
mengajak kita untuk menengok masa lalu dan melihat surat
kabar yang giat memperjuangkan kebenaran dan kepentingan masyarakat. Meskipun akhirnya surat kabar itu harus mati
berkali-kali dalam
pertarungan melawan rezim berkuasa. Akan tetapi, surat kabar itu tidak semakin
melunak, malah semakin ganas mengkritik pemerintahan Soeharto yang tengah
berkuasa saat itu.

Indonesia
Raya
bergerak sebagai
kontrol sosial dan penguasa. Sejak awal kemunculannya, Indonesia Raya mengambil sikap untuk tidak berafiliasi dengan partai manapun. Tindakan ini
dilakukan dalam rangka memisahkan diri dari golongan kekuasaan. Maka disini, Indonesia
Raya
berusaha menjadi kaca mata bagi rakyat untuk
melihat permasalahan dengan lebih jernih. Semangat ini bisa kita lihat dalam
tajuk rencana edisi perdana Indonesia
Raya
tanggal 29 Desember 1949. “.., menurut paham kami, pers merdeka
yang menjadi kejaran semua wartawan yang berhaluan merdeka akan mempunyai ini dan berarti bagi aparat yang berguna bagi
kebaikan umum dan masyarakat.” (hal:276)

Semangat ini tetap dijaga bahkan setelah
bertahun-tahun mati suri dibredel pemerintah orde lama. Dalam edisi perdana
setelah vakum ini, kita
bisa melihat Indonesia Raya yang
tetap berusaha memihak pada rakyat. “Kami akan terus memperjuangkan kebenaran melawan yang batil, membongkar
yang palsu, membela perkosaan terhadap rakyat kecil, melawan penyalahgunaan
kekuasaan…” (hal:
277)

Kata-kata itu tidak sebatas menjadi bumbu dalam tajuk
rencananya saja. Liputan-liputan dalam terbitan Indonesia
Raya
merupakan bukti nyata komitmen surat kabar ini. Berbagai kasus
kebobrokan pemerintah orde lama dan orde baru dibongkar tanpa ampun. Surat kabar ini tanpa ragu melakukan
peliputan dan bahkan investigasi
terhadap kasus-kasus besar di Indonesia.

Proyek Miniatur Indonesia Indah, kasus pertamina, kasus
korupsi Bulog menjadi sederet kasus yang pernah diungkap oleh surat kabar
binaan Mochtar ini. Korupsi dan penyelewengan menjadi sorotan utama Indonesia Raya. Bisa dibilang surat
kabar ini berusaha menjadi mata-mata bagi rakyat untuk melihat penyelewengan yang ada dalam pemerintah. Indonesia Raya menolak penyelewengan dalam pemerintahan yang bisa
merugikan rakyat. Dalam kasus-kasus ini dengan jelas Indonesia Raya memposisikan diri sebagai lawan dari pemerintah yang
melakukan penyelewengan terutama yang sangat merugikan rakyat.

Dalam melihat kasus bulog misalnya Indonesia Raya
menurunkan tulisan yang mengecam penyelewengan tersebut. Dalam Indonesia
Raya
tertulis, “Kami
menganjurkan bahwa jika ada orang mau memanipulasi suatu barang dagangan untuk
mengorek keuntungan besar, maka carilah hal-hal lain dan jangan pakai beras dan
bahan-bahan pokok kehidupan rakyat.”

Puncaknya adalah pada saat peristiwa 15 Januari 1974
atau dikenal dengan peristiwa Malari terjadi. Pers secara umum disalahkan
sebagai pemicu pecahnya aksi tersebut. Ignatius mengatakan, “Paling tidak,
pers dianggap mematangkan situasi politik yang kemudian menimbulkan aksi huru
hara…” Indonesia Raya sendiri menjadi salah satu surat kabar yang gencar
menentang modal asing di Indonesia, terutama modal jepang saat itu. Isu budaya
dan lingkungan yang dianggap tidak sesuai dengan rakyat menjadi alasan utama
penolakan Indonesia Raya.

Melihat Indonesia Raya sering memposisikan diri
bersebrangan dengan pemerintah, tidak mengherankan surat kabar ini harus
berakhir dengan pembredelan. Paling tidak, Indonesia Raya mati dengan gagah berani melindungi kepentingan
rakyat. Pertanyaannya sekarang, adakah surat kabar atau media yang
mewarisi semangat ini?

*Lalu Muhammad Jazidi,
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Negeri Semarang (Unnes).
Bergiat di Pers Mahasiswa
di BP2M Unnes, Kelompok diskusi Jagongan Buku dan Lingkar Pena Kembara Ilmu
Politik.
Exit mobile version