Judul : 3 : Alif, Lam, Mim
Sutradara : Anggy Umbara
Tahun : Oktober 2015 (Bioskop)
Sebelum tahun 2026, masyarakat Indonesia digiring pada suatu opini, dimana Hak Asasi Manusia (HAM) begitu ditinggikan kuasanya layaknya negara liberal. Tidak tanggung-tanggung, revolusi digalakkan untuk menggapai opini tersebut. Beberapa kalangan seperti pejabat kepolisian memanfaatkan hal tersebut untuk menggulingkan pemerintahan. Aturan baru tentang penggunaan peluru karet untuk menumpas kriminal menjadi efek dari suksesnya revolusi dengan dalih HAM tersebut.
Alif, memiliki idealisme bahwa keadilan dan kedamaian masyarakat adalah segalanya. Apapun ia korbankan untuk menggapai idealisme tersebut. Layaknya huruf hijaiyah Alif yang tegak lurus, Alif begitu keras dan bebal dalam mempertahankan idealismenya. Tentu untuk mencapai impiannya, dia harus bergabung dengan aparat khusus bernama Detasemen khusus 38:80-83. Selain itu, motivasinya bergabung dengan tim detasemen kala itu untuk mencari tahu siapa pembunuh keluarganya.
Lain halnya dengan Alif, Herlam memiliki idealismenya sendiri. Menurutnya, kebenaran adalah segalanya. Apapun akan dia lakukan untuk memperoleh kebenaran yang hakiki. Seperti sebuah kurva yang ada pada huruf hijaiyah, Lam begitu luwes dan mampu beradaptasi dengan segala situasi yang ada. Selain luwes, sebagai seorang jurnalis dan eks anggota revolusioner, Lam adalah orang yang kritis dan teliti. Terhadap kedua teman dan keluarga kecilnya, Herlam juga orang yang peduli.
Lain lagi dengan Alif dan Lam, bagi Mimbo, berjalan di jalan kebaikan menuju surga Allah adalah hal terbaik bagi dirinya. Huruf hijaiyah Mim mungkin tepat untuk menggambarkan sosoknya yang hampir mendekati sempurna daripada kedua temannya. Dia begitu setia dan tegar bertahan menghadapi segala fitnah yang dilontarkan pemerintah dan publik kepada pondok Al-Ikhlas tempatnya mengabdi. Namun, Mim beberapa kali hampir melanggar apa yang telah sang guru peringatkan yaitu membunuh sesama manusia.
Setelah mengetahui perbedaan idealisme antara Alif, Lam, dan Mim, penonton akan diarahkan pada suatu pertanyaan. Suatu pertanyaan yang mungkin bisa memancing keributan batin penonton film itu sendiri. Apalagi ketika ketiga idealisme ini dipertemukan dan menghasilkan suatu friksi. Siapakah yang paling benar idealismenya?
Distopia ala Umbara
Tema futuristik terkadang menjadi kesulitan bagi beberapa sutradara. Perlu imajinasi dan suatu sense yang begitu tinggi untuk membuatnya menjadi menarik. Bahkan mampu menggiring opini penonton untuk percaya dengan penggambaran masa depan sang sutradara. Imajinasi Anggy Umbara untuk membawakan sebuah distopia negara Indonesia patut memperoleh apresiasi. Sebuah mimpi terburuk bila Indonesia menganut paham yang jauh dari nilai-nilai luhur Pancasila dan agama.
Mimpi ini semakin terasa dengan adanya efek sinematografi yang berusaha ditampilkan secara rapi oleh Anggy. Beberapa perkembangan teknologi juga ditampilkan seperti beberapa perangkat gawai transparan yang selaras dengan tema futuristik dari film ini. Walaupun berusaha menampilkan se-futuristik mungkin, Anggy berusaha realistis. Nampak di beberapa adegan yang secara tak langsung menggambarkan distorsi sosial masih terjadi seperti kemiskinan dan premanisme.
Umbara mengakui bahwa semua inspirasi film ini, ia peroleh berdasarkan mimpi-mimpinya dikala tidur. Seperti manusia biasa lainnya, agaknya dalam mengingat mimpi masih ada kepingan-kepingan puzzle yang masih hilang. Dalam film ini, banyak latar belakang yang ingin disampaikan oleh Umbara. Namun tidak tersampaikan. Kebanyakan cerita pendukung, tidak memiliki korelasi dengan alur film dan hanya mampu membangun penokohan masing-masing karakter.
Penggunaan bahasa bilingual, Inggris dan Indonesia juga mengurangi nilai film ini. Tanpa keterangan yang jelas, beberapa tokoh berdialog menggunakan bahasa Inggris pada suatu adegan. Penggunaan bahasa Inggris ini memperlihatkan adanya ketidakkonsistenan dalam penggunaan bahasa. Mungkin tujuannya agar terlihat keren dan lebih modern. Untuk masalah yang satu ini, agaknya Umbara telah belajar dari naskah film Java Heat. Penggunaan bahasa Inggris diutamakan bila sang tokoh memang diceritakan sedang berbicara kepada warga negara asing (WNA).
Film laga berbau futuristik dengan balutan mimpi distopia sang pengarang menjadi satu kesatuan yang belum pernah dibuat oleh sineas Indonesia. Sebaliknya, film ini menjadi salah satu penanda bangkitnya film laga dan juga pentingnya editor film untuk membuat sebuah film dengan balutan efek sinematografi.