Oleh : Ahmad Abu Rifai
Mahasiswa Universitas Negeri Semarang
Jika saya diminta membuat daftar berisi apa saja yang tidak ingin dikenang, saya akan memasukkan ospek sebagai salah satunya. Barangkali di urutan empat, atau tiga. Saya akan memikirkannya lebih lanjut.
Orientasi, dari zaman SMP hingga perguruan tinggi, memang tidak memiliki kriteria yang cukup untuk dikenang sepanjang umur; ia hanya fase sesaat yang menyebalkan, melelahkan, dan—jujur saja—menghabiskan uang. Meski saya tidak ingin mengingat—tapi saya tidak bisa menolaknya, izinkan saya membagikan sedikit catatan tentang ospek saya dulu.
Semua dimulai tiga tahun lalu, saat kaki menginjak tanah kampus pertama kali. Saya ingat dompet sudah kian tipis, tetapi masih banyak penugasan yang harus dibeli, dan masih banyak kegiatan untuk dilaksanakan. Saya ingin menolak, sejujurnya, tetapi kakak tingkat—dengan segala bujuk rayunya—bilang kalau saya harus ikut ospek. Jika tidak, saya tidak akan mendapat sertifikat yang berguna sebagai persyaratan wisuda—sesuatu yang kini, saya tahu, merupakan kebohongan semata.
Saya akhirnya ikut arus; bangun pagi, panas-panasan di lapangan, mengenakan segala atribut, mendengarkan ceramah membosankan. Intinya: tidak ada yang benar-benar spesial.
Begitulah. Setelah bertahun-tahun, yang ingin saya sampaikan sekarang, kemudian: apakah ospek sudah dilaksanakan sebagaimana semestinya?
Jika saya hanya merujuk pada pengalaman pribadi, saya berani bilang tidak. Baik untuk PPAK universitas maupun fakultas. Alasannya: penyelenggara belum selesai dengan masalah perploncoan, dan manajemen mereka, baik itu soal waktu, komposisi materi, dan seterusnya, masih belum sesuai.
Hal pertama, agaknya perlu diluruskan. Perploncoan, bagi saya, bukan sekadar tindakan macam memukul, membotaki, atau menghina. Lebih luas, ia terwujud dalam berbagai hal yang tidak relevan dan karenanya, sia-sia. Dulu misalnya, saya pernah dihukum minta maaf pada pohon hanya karena kaos kaki ada gambar roket. Kawan-kawan lain, dengan alasan berbeda, dihukum mengobrol dengan semut, mengepang rambut sambil bernyanyi, dan seterusnya dan seterusnya.
Adakah hukuman tersebut relevan dengan PPAK?
Dulu—waktu SMA—saya pernah melakukan hal ini. Saat saya jadi panitia, saya secara semena-mena menghukum adik tingkat yang telat atau penugasannya tidak lengkap. Mereka saya perintahkan menembak peserta lain, dan sekarang saya sadar itu tidak berfaedah sama sekali alias saya sangat tolol memberikan hukuman seperti itu.
Maksud saya, saya melakukannya karena saya merasa powerful. Ada relasi kuasa berbeda di sana. Mungkin ini hanya perasaan pribadi saja; saya tak boleh menggeneralisasi. Tapi intinya: hukuman macam itu, apa sih esensinya?
Baca juga: Forum Lanjutan BEM KM, UKM, dan ORDA Hasilkan 5 Poin Kesepakatan
Barangkali sebagian dari kita menganggap hukuman macam itu lazim karena dilakukan turun-temurun. Beberapa orang mungkin juga bilang, “Ah, hanya seperti itu”. Yang perlu kita ingat, bagaimanapun, plonco tetaplah plonco. Ia barangkali diwujudkan dalam hal-hal kecil, tetapi ia tetap saja plonco. Lagipula, tidak semua tradisi patut dilanjutkan. Plonco salah satunya.
Kalau memang harus ada hukuman, kenapa misalnya, panitia tidak mencoba cara lain macam menyuruh maba menjelaskan teori apa saja yang dikuasai, menceritakan singkat buku terakhir yang dibaca, atau mengkritisi isu sosial, digital, HAM, dan lingkungan?
Perploncoan tidak hanya berhenti sampai di situ; ia juga meliputi penugasan yang tidak berguna untuk kebutuhan saat acara, yang diperintahkan hanya untuk membuat malu peserta dan kadang, untuk meraup pundi-pundi uang. Sebagai contoh, tahun lalu PPAK universitas mewajibkan maba membeli Fitchips—sejenis snack. Pentingkah Fitchips? Kita semua tahu.
Penugasan semacam itu hanya membebani mahasiswa baru. Mereka sudah mengeluarkan banyak uang untuk registrasi dan mondar -mandir, tetapi mereka masih “diperas”. Saya tahu, barangkali itu untuk kebutuhan sponsor. Tapi, seberapa daruratkah hal tersebut?
Saya membayangkan, ada mahasiswa yang mendapat UKT dan SPI tinggi dan tidak ada beasiswa. Membebankan penugasan konyol kepada mereka, karenanya, berarti menempatkan mereka ke jurang yang lebih jauh. Pada titik ini, panitia telah gagal. Jika saya mau menghubungkan dengan asal-usul perploncoan yang dimulai pemerintah kolonial itu, saya pikir, tindakan ini dalam PPAK juga tak lebih dari penjajahan terselubung.
Permasalahan PPAK tidak hanya tentang perploncoan. Ini masuk poin kedua, yakni manajemen kegiatan. Sejauh ini, berdasarkan informasi-informasi yang saya terima, PPAK bahkan belum keluar dari kebiasaan-kebiasaan buruk macam ketelatan yang lamanya minta ampun—yang tentunya, mengecewakan banyak pihak. PPAK juga didominasi khotbah berjam-jam. Kalau tidak, ya yel-yel.
Baca juga: Untukmu Saudara Mudaku
Saya belum pernah mendengar ada semacam diskusi kritis yang membahas masalah-masalah konkret di lingkungan. Padahal, ini sangat mungkin. Hampshire College di Amerika Serikat sana sudah melakukannya.
Jika berdiskusi dalam lingkaran besar dirasa tidak efektif, penyelenggara bisa melakukannya dalam lingkup lebih kecil. Dalam PPAK, biasanya maba dibagi dalam kelompok-kelompok. LO bisa memantik diskusi, dan para peserta diharuskan aktif berpartisipasi.
Cara seperti ini, selain lebih membekas daripada khotbah dengan tema-tema tak terjangkau, juga membuka cakrawala berpikir mahasiswa baru. Kampus adalah titik transisi para pelajar. Ketika dulu kita hanya menghapal teori, maka sekarang kita dituntut berpikir kritis dan kontekstual. Kita tidak hanya memegang buku di dalam kelas; tempat belajar kita justru terbuka lebar di ruang-ruang sosial.
Hal-hal di atas kemudian membuat saya berpikir, ospek kampus hanyalah upaya melanjutkan tradisi kesia-siaan. Bertahun-tahun seperti itu, sama halnya tahun ini; PPAK inkondusif, tidak ada inovasi yang berarti, bahkan hal menarik saja tidak ada—kecuali penugasan sampah kertas yang menyulitkan banyak maba dan patut dipertanyakan pengelolaan selanjutnya itu.
Pada PPAK tingkat universitas, konon acara molor berjam-jam. Orang Indonesia, kata sebagain pihak, memang suka telat. Tapi telat berjam-jam, yang mengakibatkan silang sengkarut jadwal lain dan membikin mahasiswa lebih lama panas-panasan di lapangan dengan tensi tinggi, merupakan kesalahan yang sangat fatal. Saya pikir, panitia PPAK lebih orang Indonesia daripada orang Indonesia; lebih telat daripada ketelatan itu sendiri.
Kalau sudah begini, pertanyaannya: mau sampai kapan?
Ah, tiba-tiba saya kembali mengingat Hampshire College. Mereka memperlakukan maba dengan begitu baik lewat pengenalan kampus, diskusi, dan tak lupa: game. Tidak ada perploncoan sama sekali.
Begitulah memang kita seharusnya memperlakukan adik-adik, alih-alih “menyiksa” mereka dengan hal-hal konyol, dan ketika dikritik, tidak terima—lalu menyalahkan pihak-pihak yang memprotes atau media yang memberitakan kekurangan acara, serta menuduhnya clickbait dan ingin numpang tenar.
O, Hampshire, tidak hanya jaraknya yang jauh dari kita; tradisi penyambutan maba dan kualitas panitia juga. Tentang ini, kita memang masih jauh. Jauh sekali. (*)
Catatan: Opini ini merupakan sikap pribadi saya, bukan sikap redaksi—apalagi organisasi. Jika Anda tidak setuju, media ini menerima opini dari siapa pun. Berbalas argumentasi lewat tulisan saya rasa akan bagus. Sebab ia akan jadi lebih utuh, matang, dan hadir tanpa tekanan.