LINIKAMPUS Blog Ulasan Opini Kasus Pelecehan Seksual di Tingkat Perguruan Tinggi: Ketika Lembaga Pendidikan Tertinggi Tak Lagi Mampu Memaknai Arti ‘Mendidik’
Opini Ulasan

Kasus Pelecehan Seksual di Tingkat Perguruan Tinggi: Ketika Lembaga Pendidikan Tertinggi Tak Lagi Mampu Memaknai Arti ‘Mendidik’

Ilustrasi Kasus Pelecehan Seksual di Tingkat Perguruan Tinggi: Ketika Lembaga Pendidikan Tertinggi Tak Lagi Mampu Memaknai Arti ‘Mendidik’ [BP2M/Hasnah]

Oleh Akhmad Idris*

Kampus sebagai lembaga pendidikan tertinggi ⸺ sebab di sini lah dihasilkan manusia-manusia dengan legitimasi akademis ‘tingkat tinggi’, mulai dari sarjana; magister; doktor; hingga professor ⸺, memiliki beban yang cukup berat untuk menghasilkan lulusan-lulusan terdidik yang sedikit atau banyak dipengaruhi oleh kualitas para pendidiknya.

Standar kualitas pendidik dengan menggunakan bahasa yang paling sederhana adalah pendidik yang mampu mengimplementasikan semboyan ing ngarso sung tulodo (di depan menjadi teladan) ing madyo mangun karso (di tengah mencentuskan ide) tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan). Mendidik adalah menjadi contoh, menyumbang gagasan, dan memberi motivasi.

Lalu bagaimana jika pendidik tak lagi menjadi role model yang patut ditiru? Pendidik tak lagi menyumbang gagasan, tetapi malah melakukan pelecehan seksual? Pendidik tak lagi memberi motivasi, namun malah membuat peserta didik depresi? Mau diakui atau tidak, seperti ini lah potret pendidikan di perguruan tinggi lewat kasus pelecehan seksualnya.

Pemegang Kuasa Berniat Mendidik atau Menunjukkan Dominasi?

Dalam relasi antara pendidik (dalam hal ini disebut dosen) dan mahasiswa, pendidik memiliki kuasa yang lebih daripada mahasiswa. ‘Kekuasaan’ tersebut ⸺ yang meliputi kedudukan sebagai dosen dan pengetahuan sebagai alumnus magister maupun doktor dalam bidang ilmu tertentu ⸺ seyoganya digunakan untuk mendidik, bukan malah digunakan untuk bermain sik asik.

Sebut saja kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum dosen Universitas Diponegoro dengan dalih merasa dekat dan berteman dengan korban (diperoleh dari proyek kolaborasi liputan antara Tirto, Jakarta Post, dan VICE Indonesia yang dimuat pada 18 Mei 2019). Dalih merasa ’dekat’ dan ‘berteman’ dengan korban pelecehan ini sebenarnya alasan macam apa? Memangnya hubungan dekat dan pertemanan dapat memaklumi tindakan pelecehan? Atau apakah karena memiliki kuasa sebagai dosen, hubungan pertemanan yang dekat menjadi sangat bebas dan tanpa batas? Hal yang paling ditakuti dari potret pendidikan seperti ini adalah pembentukan persepsi mahasiswa tentang tafsir menyimpang dari ing ngarso sung tulodo, seperti ‘dosenku saja melakukan pelecehan, masak aku takut untuk melakukannya (pelecehan seksual) juga’.

Pelecehan seksual memang sangat berbahaya, tetapi ada yang jauh lebih berbahaya, yakni kesinambungan mata rantai persepsi mahasiswa tentang pelecehan seksual tanpa bisa terputus. Bisa juga disebut sebagai ‘dosa jariyah’ sang dosen terhadap mahasiswanya.

Dalam kasus lainnya ⸺ terkait pemegang kuasa menunjukkan dominasinya ⸺ yang masih merupakan proyek kolaborasi liputan antara Tirto; Jakarta Post; dan VICE Indonesia terkait pelecehan seksual di area kampus, beberapa oknum dosen di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang serempak mengimbau kepada mahasiswa untuk menyimpan rapat-rapat masalah pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum dosen dengan inisial ZH di Fakultas Humaniora.

Para mahasiswa juga dianjurkan untuk lebih fokus menyelesaikan tugas-tugas kuliah dan mengaji saja daripada repot-repot ikut campur dalam urusan pelecehan seksual tersebut. Alih-alih menindak tegas pelaku pelecehan, dosen tersebut malah membela pelaku dengan menyebut sumbangsih pelaku terhadap pencapaian UIN Malang saat ini. Sosok yang paling menderita dalam kasus ini adalah korban, sebab satu di antara hal yang paling dibutuhkan adalah dukungan.

Ketika pihak yang paling diharapkan dukungannya ⸺ dalam hal ini pihak kampus atau dosen yang seharusnya sesuai dengan semboyan tut wuri handayani ⸺ dengan memberi dorongan dan motivasi, ternyata justru mengintimidasi. Tak hanya berlari dari tut wuri handayani, para ‘pendidik’ ini juga berupaya menghapus dukungan-dukungan dari luar ⸺ dalam hal ini berarti teman-teman mahasiswa korban ⸺ lewat imbauan fokus belajar dan mengaji tanpa perlu ikut campur dalam masalah pelecehan seksual tersebut.

Jika korban benar-benar tidak mendapat dukungan, maka setidakberdaya inikah nasib orang-orang lemah di hadapan pemegang kuasa? Lalu bukankah ini sama saja dengan membunuh tanpa mengotori tangan yang jauh lebih kejam dari pembunuhan itu sendiri? Untungnya, teman-teman mahasiswa memilih melawan dan membentuk Aliansi Mahasiswa Malang yang mendesak rektorat segera menindaklanjuti kasus ini dengan serius dan menuntut agar semua pelaku tindak pelecehan seksual diberhentikan.

Hukuman Apa yang ‘Paling Cocok’ untuk Pelaku Pelecehan Seksual di Kampus?

Jika menilik kasus-kasus pelecehan seksual di wilayah perguruan tinggi, maka akan ditemui sanksi yang bervariasi terhadap pelakunya. Mulai dari ‘didiamkan begitu saja dengan model pengalihan isu’; diberikan skorsing namun masih bisa mengajar mata kuliah umum di luar jurusan, hanya diperintah untuk mengakui perbuatannya serta ditegur semacam anak-anak yang belum baligh saat ketahuan mencuri mangga tetangga; hingga diberhentikan secara tidak hormat ⸺ untuk yang satu ini agaknya belum pernah ditemui berita secara resmi ⸺.

Baru-baru ini (24 Juni 2020, diperoleh dari tribunnews.com) seorang oknum dosen dari Fakultas Hukum Universitas Mataram diketahui melecehkan mahasiswanya kala melakukan bimbingan skripsi. Akibat perbuatannya itu, sang ‘pendidik’ mendapatkan skorsing sebanyak lima tahun. Sungguh mencengangkan memang, fakultas yang dibangun untuk menegakkan keadilan malah melakukan tindak pelecehan. Sampai lah di ujung pertanyaan mendasar, apakah hukuman itu sudah layak?

Jawaban atas pertanyaan tersebut sudah pasti menuai banyak perdebatan, baik yang menganggap sudah sangat layak maupun yang dengan lantang menolak. Mari berpikir dengan jernih mengenai hal ini, agar mendapatkan konklusi yang melegakan hati. Bagi kelompok yang merasa hukuman skorsing sudah sangat layak, agaknya berpegang teguh pada prinsip ‘setiap orang punya kesalahan serta masa lalu dan berhak untuk mendapatkan maaf atas kesalahannya tersebut, karena tidak ada manusia yang benar-benar suci’ sebagaimana yang diungkapkan oleh dosen di UIN Malang terkait pelecehan seksual yang dilakukan oleh rekan sesama dosennya.

Sementara bagi kelompok yang dengan lantang menolak alias lebih setuju oknum dosen tersebut diberhentikan secara tidak hormat, sepertinya lebih mengacu pada semboyan dasar pendidik yang berupa ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayani. Sehingga, apa yang bisa dipertahankan dari seorang yang mengaku pendidik, tetapi tidak bisa menjadi contoh; tak sanggup menyumbang gagasan; bahkan tak ingin memberi dukungan kepada pihak yang benar?

Menyikapi dua perbedaan pandangan di atas, mengambil jalan tengah adalah satu di antara solusi untuk menghindari perpecahan. Usulan ‘jalan tengah’ itu seperti ini: oknum ‘pendidik’ yang terbukti melakukan pelecehan seksual itu tentu saja berhak untuk dimaafkan. Toh ‘dia’ juga sudah mengakui dan menyesali kesalahan atau kekhilafannya. Mari bersama-sama kita memaafkan ‘dia’ dan berharap tidak akan mengulanginya, namun memaafkan tidak berarti tetap memberinya izin untuk mendidik.

Pelaku memang berhak mendapatkan maaf, tetapi tetap menjadi pendidik adalah cerita yang berbeda. Pemberian maaf adalah hadiah dari kebersediannya mengakui kesalahan dan ganjaran dari perbuatannya adalah berhenti menjadi pendidik. Hal ini tidak hanya semata-semata sebagai hukuman, tetapi juga dalam rangka menjaga marwah dunia pendidikan. Agar arti ‘mendidik’ tak pernah bergeser dari logo dunia kependidikan itu sendiri lewat semboyan tut wuri handayani.

*Dosen Bahasa Indonesia di Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa dan Sastra Satya Widya Surabaya sekaligus penulis buku ‘Wasiat Nabi Khidir untuk Rakyat Indonesia’

Akhmad Idris [Kontributor/Amilia]
Exit mobile version