BeritaFoto EsaiJepretUncategorized

Pukau Tembakau

Tidak seperti biasanya, saat azan subuh belum berkumandang, kami telah memacu motor untuk menuju lereng Gunung Sumbing, Kamis (5/8/2021). Tujuan kami adalah Dusun Lamuk, Desa Legoksari, Kecamatan Tlogomulyo untuk menyusuri seluk beluk soal tembakau—komoditas yang menjadi salah satu sumber penghidupan sebagian masyarakat Kabupaten Temanggung.

Pagi itu atap-atap rumah di Desa Legoksari belum ramai dengan papan-papan penjemur tembakau. Sebagian besar rumah warga desa ini didesain dengan model cor karena dimanfaatkan untuk menjemur tembakau saat musim panen tiba. Pekan pertama bulan Agustus, panen tembakau memang belum dimulai dan daun tampak tembakau sedang ranum-ranumnya. Kami pun memilih jalur acak menuju atas desa untuk menyambut sunrise di antara tembakau.

Dusun Lamuk, Desa Legoksari, Kecamatan Tlogomulyo, Kabupaten Temanggung dari atas desa. Desa Legoksari terdiri dari dua dusun, yakni Dusun Lamuk dan Lamuk Gunung. [Dok BP2M/Adam]
Menyebut Legoksari, bagi sebagian masyarakat di luar Temanggung bakal menganggapnya tidak lebih sama dengan desa-desa lain. Namun, jika membicarakan komoditas yang dihasilkan oleh desa ini, sebagian besar penikmat tembakau seketika paham bahwa desa ini identik dengan tembakau srintil.

Tembakau srintil sebenarnya merupakan jenis varietas tembakau kemloko. Adapun nama ‘srintil’ berasal dari penyebutan masyarakat lokal karena bentuk tembakau srintil yang menggumpal atau ‘nyrintil’ dalam sebutan masyarakat Legoksari. Mengutip bolehmerokok.com, penyebutan srintil berkaitan erat dengan keberadaan Dewi Sri yang dianggap sebagai pemberi keberuntungan. Nama srintil disadur dari kata Srine Ngintil atau Dewi Sri(-nya) ikut—artinya, ada keberuntungan yang dibawa oleh tembakau srintil.

Hal itu terbukti pada nilai jual tembakau srintil yang banyak dihasilkan oleh Desa Legoksari. Satu kilogram tembakau srintil dengan grade G dapat dihargai mencapai Rp1,5 juta. Keberuntungan yang dibawa Dewi Sri memang betul bersama masyarakat Desa Legoksari.

Tembakau srintil dibedakan menjadi kelas-kelas atau grade untuk tiap pengategorian kualitas. Grade A digunakan untuk menyebut kualitas tembakau yang rendah dan akan terus meningkat kualitasnya hingga grade I. Pengkategorian ini ditentukan mulai dari warna, aroma, hingga tekstur tembakau. Semakin tinggi grade, maka semakin mahal pula tembakau.

Petani bergegas menuju kebun tembakau. Mayoritas masyarakat Desa Legoksari menjadikan tembakau sebagai sumber penghidupan. [Dok BP2M/Adam]
Semakin tinggi matahari, semakin berduyun-duyun petani beranjak menuju ladang tembakau. Sebagian petani sudah membawa keranjang untuk memulai panen lebih dahulu dan sebagiannya lagi menuju ladang untuk memotong bunga di pucuk tanaman tembakau. Hamparan tanaman tembakau menjalar pada kaki Gunung Sumbing hingga perbatasan antara ladang dengan batas vegetasi hutan lindung. Komoditas ini menjadi primadona bagi masyarakat Kabupaten Temanggung.

Tursinah (50) menunjukan daun tembakau yang sudah siap panen. [Dok BP2M/Adam]
Tursinah (50) cekatan memangkas bunga di pucuk tanaman tembakau sambil berharap panen tembakau tahun ini memuaskan. Meskipun pandemi membuat permintaan tembakau menurun, setidaknya tembakau yang sudah diolah hingga kering tidak cepat membusuk seperti buah atau bahan pangan lain.

“Dari satu pohon tembakau, menghasilkan sekitar dua puluh daun dan panen dilakukan secara bertahap,” Tursinah menjelaskan bagaimana proses panen tembakau, “Biasanya, disisakan sekitar sepuluh daun supaya nyrintil,” Tursinah kemudian menunjukan kepada kami daun tembakau yang sudah dipanen, “seukuran ini,” pungkasnya.

Kemudian Tursinah menyarankan kami untuk bertemu salah satu tokoh masyarakat yang paham betul mengenai seluk beluk tembakau srintil. Rumahnya tidak jauh dari kantor kepala desa Legoksari.

*

Tampak foto bersama gubernur Jawa Tengah yang dipigura pada dinding rumah menunjukan siapa narasumber selanjutnya bukanlah orang sembarangan. Setelah mempersilakan kami masuk, ia kemudian meracik rokok tingwe di hadapan kami.

“Nglinting ora mas?” (Biasa melinting ((rokok)) tidak, Mas?)

Kami hanya meringis. Jangankan melinting rokok, menghisapnya pun kami tidak—untuk saat ini.

Sutopo (48) atau Pak Topo, sebagaimana masyarakat memanggilnya ketika saya mencari tahu alamatnya. Ia adalah tokoh masyarakat sekaligus kepala dusun Lamuk, yang juga petani tembakau.

Selepas meracik sebatang tingwe yang kemudian ia hisap, Pak Topo memulai pembicaraan. Katanya, kondisi geografis Desa Legoksari inilah yang memicu terbentuknya tembakau srintil.

“Proses nyrintil ini dipicu oleh posisi desa yang berada pada lembah membuat sebagian embun yang turun dari Gunung Sumbing terperangkap dan hinggap di tanaman tembakau, serta kelembapannya memicu tumbuhnya bakteri yang dapat memicu proses nyrintil yang membuat rajangan tembakau menggumpal,” Pak Topo menjelaskan secara detail.

“Oleh karena itu, tidak setiap tahun proses nyrintil terjadi. Daun yang mendekati pucuk pohon, membuat kualitas tembakau srintil lebih bagus,” sambungnya. Menurut Muchidin Rachmat dalam Rantai Pasok Tembakau menyatakan bahwa kondisi agroekologi yang menjadikan tembakau lokal memiliki ciri khas setiap masing-masing wilayah, termasuk tembakau Temanggung.

Meskipun demikian, tidak semua tembakau srintil berasal dari Desa Legoksari. Komoditas ini juga dihasilkan oleh Desa Dumpit atau Desa Wonosari, Temanggung.

Tembakau Srintil grade G milik Pak Sutopo, tembakau ini memiliki tekstur menggumpal dengan warna harum. [Dok BP2M/Adam]
Tidak menunggu lama, Pak Topo mengeluarkan tembakau srintil, sang idola. Teksturnya menggumpal dan ketika menghirup aromanya, Helmi langsung singkat, “Harum!”. Tembakau srintil yang saya hirup barusan adalah grade G. Saya kemudian penasaran berapa harga tembakau ini.

“Satu juta setengah, Mas,” ujar Pak Topo singkat.

Saya dan Helmi saling bertatap tak percaya. Melihat harga jual tembakau srintil yang jauh lebih mahal dari tembakau pada umumnya—tembakau biasa dihargai sekitar Rp 100.000 per kilogram. Hingga sampailah saya kepada titik penasaran saya terkait tembakau srintil, penyebabnya tulisan Puthut EA bertajuk Hikayat Negeri Tembakau pada Majalah National Geographic edisi November 2012.

Sutopo (40) Kepala Dusun Lamuksari, Desa Legoksari, Temanggung. [Dok BP2M/Adam]
“Apa benar Pak, pernah ada warga Lamuk yang berniat membeli helikopter?” saya mantap melayangkan rasa penasaran itu.

“Betul Mas, ada itu tahun 1970-an,” ujar Pak Topo diikuti penyebutan nama tokoh yang berniat membeli helikopter saat itu. Kemudian saya membayangkan sosok Mbah Abu jika hidup di metropolitan saat itu tidak akan kalah dengan Ibnu Sutowo yang bergaya hidup jetset. “Beliau (Mbah Abu) juga membelikan genset bertenaga besar dari Jerman untuk penerangan di Lamuk, di saat desa-desa di bawahnya belum teraliri listrik,” tambahnya.

“Harga tembakau srintil saat itu sudah mencapai Rp50.000 per kilogram, sedangkan satu karung beras sekitar Rp1.000 dan motor Honda CB baru harganya Rp250.000,” Pak Sutopo memberikan perbandingan harga tembakau srintil dengan harga bahan pokok, “… dalam sekali panen bisa puluhan keranjang tembakau srintil, di mana satu keranjang beratnya rata-rata 35 kilogram”.

Sebagian tembakau yang sudah dipanen dan dirajang. [Dok BP2M/Adam]
Tembakau menjadi hal tak terpisahkan dalam keseharian masyarakat Legoksari dan Temanggung. Pukau tembakau di Desa Legoksari tak membuat silau warga. Semua warga yang kami sapa dan temui selalu menawarkan bertamu di rumahnya. Begitu juga Pak Topo. Sebelum pamit, ia berpesan bahwa kedatangan kami selanjutnya selalu ia nantikan. “Minggu kedua bulan September, tembakau srintil rencananya akan panen,” begitu pesannya. Usai berpamitan, saya menuruni lereng Sumbing dengan perasaan kalut.

“Bagaimana kalau motor saya ditukar dengan tiga kilogram tembakau srintil?”

 

Reporter: Muhammad Adam Khatamy
Editor: Hani

Comment here