Menyambut 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Jaringan Masyarakat Sipil melakukan diskusi publik mengenai peran laki-laki dalam perlindungan dan pencegahan kekerasan seksual secara daring, Sabtu (27/11).
Raden Rara Ayu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia (LBH APIK) Semarang, mengatakan rata-rata pelaku kekerasan seksual adalah laki-laki. Sehingga, menurutnya, penting untuk melibatkan peran laki-laki dalam pencegahan dan perlindungan tindak pidana kekerasan seksual sebagai penciptaan ruang aman.
Dalam diskusi, Ayu turut memaparkan Catahu LBH APIK 2016-2020. Tercatat korban kekerasan seksual masih didominasi oleh perempuan dan anak-anak, sedangkan korban laki-laki hanya mencapai 20%.
“Maka penting sekali peran laki-laki dalam melakukan perlindungan dan pencegahan kasus kekerasan seksual. (Laki-laki) perlu juga mendorong pengesahan RUU PKS,” katanya.
Sementara itu, Wawan Suwandi selaku perwakilan Aliansi Laki-laki Baru (ALB), menyampaikan salah satu penyebab kebanyakan pelaku kekerasan seksual didominasi laki-laki karena adanya pemisahan dan konstruksi gender (pembakuan gender).
Dampak dari pembakuan tersebut membuat laki-laki dipandang sebagai pihak superior (dominan) dan perlu ditopang oleh maskulinitas, status sosial, dan ekonomi yang mapan. Situasi ini membuat laki laki terjebak pada toxic masculinity. Sebaliknya, norma gender tradisional tersebut melihat perempuan sebagai makhluk seksual.
“Sehingga pakaian apapun yang dikenakan, di manapun dia (perempuan) berada, tetap mengalami kekerasan seksual,” katanya.
Wawan menambahkan, bahwa kekerasan seksual juga bisa dialami laki-laki. Menurutnya, selama ini banyak laki laki korban kekerasan seksual enggan melapor karena takut dipatahkan oleh stigma budaya patriarki. Stigma ini memandang laki-laki akan luntur sisi maskulinitasnya ketika mendapat kekerasan seksual.
Di akhir diskusi, Wawan menyampaikan beberapa hal yang harus dilakukan oleh laki laki dalam pencegahan dan perlindungan tindak pidana kekerasan seksual sebagai penciptaan ruang aman.
Pertama, memulai dari diri sendiri untuk mengkaji ulang konsep maskulinitas. Kedua, melatih empati untuk memihak pada kelompok rentan terhadap kekerasan. Ketiga, mempraktikan relasi yang sehat dengan keluarga, teman laki-laki, perempuan dan lainnya, agar tidak menjadi pelaku kekerasan seksual. Keempat, memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan positive masculinity dan dampak buruk dari toxic masculinity. Terakhir, menjadi bagian dari pendukung gerakan keadilan dan kesetaraan gender.
Reporter : Ananda & Izzata
Editor : Niamah