Survei Sikap Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Terhadap Aksi Demonstrasi
Kabar Kilas

Setahun Pemberedelan LPM Lintas, Posisi Persma Masih Rentan

Poster setahun pemberedelan LPM Lintas. [Instagram LPM Lintas]

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Jakarta menggelar diskusi publik bertajuk “1 Tahun Pemberedelan Lintas: Pelanggaran Hak Akibat Ketidakmerdekaan Pers Mahasiswa” pada Jumat (17/03). Diskusi yang dilakukan secara daring tersebut dibuat untuk memperingati satu tahun peristiwa pemberedelan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lintas Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon. Perlindungan hukum yang minim serta kampus yang tidak mendukung kebebasan mimbar akademik diduga menambah kerentanan pers mahasiswa (persma).

Pembredelan LPM Lintas terjadi setelah Majalah Lintas Edisi II dengan judul “IAIN Ambon Rawan Pelecehan” terbit. Majalah tersebut berisi akumulasi kasus pelecehan seksual yang terjadi di IAIN Ambon. Pemberedelan tersebut dilakukan melalui Surat Keputusan Rektor No. 92 yang ditandatangani oleh Rektor Zainal Abidin Rahawarina.

Selain pemberedelan, awak LPM Lintas juga sempat menerima pemukulan oleh sesama mahasiswa hingga pelaporan ke Kepolisian Daerah Maluku dengan tuduhan pencemaran nama oleh kampus. Hal tersebut diutarakan oleh Yolanda Agne, Pemimpin Redaksi LPM Lintas. Hingga kini, laporan tersebut belum dicabut oleh pihak kampus.

“Sampai saat ini anggota yang masih ikut advokasi LPM Lintas akademiknya dijegal sama pihak kampus,” tutur Yolanda. “Itu yang paling berpengaruh ke temen-temen Lintas.”

Gema Gita Persada, anggota LBH Pers Jakarta, mengatakan kasus yang menimpa LPM Lintas berkaitan erat dengan kerentanan persma dalam dimensi pers. Untuk itu, Gema mengemukakan bahwa sebenarnya persma juga berhak mendapatkan perlindungan pers seperti halnya pers umum. Selain itu, ia pun juga menyinggung kampus yang selama ini tidak mendukung kemerdekaan persma. “Kampus (justru) melakukan tindakan intimidatif,” ucap Gema.

Sejalan dengan Gema, Adil Al Hasan, anggota Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), berpendapat bahwa kebebasan akademik di kampus yang makin menipis bisa menjadi kendala bagi persma dalam melakukan kerja-kerjanya. Padahal, Adil memandang persma mampu mendukung terwujudnya kampus yang demokratis.

“Tanpa regulasi yang jelas persma akan selalu dipandang dengan perspektif bias oleh kampus,” kata Adil. “Persma hanya dianggap sebagai salah satu unit kegiatan mahasiswa (UKM), bukan bagian dari lembaga pers.”

Anggota Kaukus Indonesia Untuk Kebebasan Akademik (KIKA) Dhia Al Uyun mengatakan kasus LPM Lintas ini menandakan bahwa kebebasan dan hak mahasiswa telah dilanggar pimpinan kampus. Menurutnya, surat keputusan rektor yang menjadi dasar pemberedelan LPM Lintas juga memiliki kejanggalan. Sebab, konsideran pada surat itu tidak sesuai dengan visi misi kampus dan tidak berdasar pada keputusan diktum yang ditentukan sejak penetapan surat. “Jelas, surat ini dibuat karena terburu-buru, kemungkinan karena emosi” jelasnya

Dian Andi N.A., Anggota Dewan Pers, juga menyampaikan bahwa persma di berbagai kampus memiliki banyak permasalahan, seperti ancaman kekerasan maupun pidana, dan sanksi akademik. “Saya rasa semua problem yang dialami persma di setiap kampus sama. Terlebih  lagi Undang-Undang Pers memang masih belum mampu mengakomodasi persma,” ujar Dian.

Situasi tersebut, kata Dian, membuat persma tidak memiliki mekanisme pengaduan yang jelas dalam penyelesaian masalah di lingkungan kampus.

 

Catatan dari Redaksi: Pukul 14.46 WIB, berita ini mengalami perubahan. Semula, Dhia Al Uyun ditulis sebagai Ketua Kaukus Indonesia Untuk Kebebasan Akademik (KIKA). Akan tetapi, yang bersangkutan ternyata sudah tidak lagi menjabat sebagai ketua KIKA. Pemberitahuan ini sekaligus menjadi permohonan maaf kami.

 

Reporter: Putri Wifda’us Syakuroh (Magang Bp2m) dan Desfia Rizka (Magang Bp2m)

Editor: Adinan Rizfauzi

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *