Kesantunan dan Demokrasi
Opini Ulasan

Kesantunan dan Demokrasi

Oleh: Abdul Manan*

Aldera, Potret Gerakan Politik Kaum Muda 1993-1999. Itu adalah judul buku. Dari judulnya, saya cukup tertarik untuk membaca. Di Unnes ada bedah buku tersebut, tetapi saya tidak tertarik. Pasalnya, bedah buku yang membahas “Potret Gerakan Politik Kaum Muda” tidak menghadirkan narasumber dari kaum muda itu sendiri. Mungkin hanya yang muda pada zamannya (1993-1999) dan yang merasa masih muda, termasuk sang moderator. Pembahasannya pun jauh dari apa yang saya bayangkan. Alhasil, saya hanya menyimak secara daring, sekali terkantuk-kantuk dan sesekali tersenyum tipis-tipis. Ada salah satu momen yang membuat saya bergidik, yaitu pernyataan saat sesi tanya jawab. Berikut pernyataannya.

Ketika rekan-rekan turun ke jalan, hal utama yang saya lihat adalah soal nilai sopan santun. Ketika rekan-rekan mengatakan apa arti perjuangan, tetapi teman-teman mengabaikan nilai sopan santun, saya pastikan teman-teman semua tidak sedang lagi berjuang, tetapi menuruti hawa nafsu.

Pertanyaannya, apa yang dimaksud turun ke jalan? Apakah kegiatan demonstrasi oleh mahasiswa dan rakyat sipil? Apa itu sopan santun? Apa kaitannya kegiatan turun ke jalan dengan nilai sopan santun?

Saya menangkap pernyataan turun jalan itu sebagai kegiatan aksi atau demonstrasi. Konteks Jawa Tengah dapat dikaitkan dengan aksi-aksi penolakan terhadap UU Ciptaker, aksi terhadap tindakan represif aparat, konflik rencana penambangan di Desa Wadas. Lebih jauh sedikit, aksi reformasi dikorupsi, penolakan omnibus law, penuntutan pengesahan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, penuntutan pengesahan UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, dan sebagainya. Atau kalau mau yang lebih dekat dapat dikontekstualisasikan pada aksi penuntutan perbaikan fasilitas kampus di PGSD Ngaliyan.  Bagian mana yang mengabaikan sopan santun?

Sopan santun itu adalah bahasa tubuh. Menyampaikan pikiran di muka umum termasuk jalan tidak perlu bersopan santun. Itulah demokrasi. Pikiran yang bersopan santun dalam politik tak ubahnya satu manusia yang bermuka dua. Satu sisi, ia sedang didikte oleh kekuasaan. Satu sisi yang lain, ia sedang membohongi dirinya sendiri. 

Beberapa tahun lalu, tepatnya  16 September 2019, majalah Tempo mengangkat tema “Janji tinggal Janji”. Sampulnya bergambar Presiden Jokowi dan ada siluetnya yang berhidung panjang. Banyak warganet, bahkan beberapa akademisi menganggap Tempo telah melecehkan atau menghina Jokowi. Mereka beranggapan bahwa figur Jokowi disamakan dengan figur pembohong, Pinokio. 

Hal serupa juga acap terjadi ketika menjelang pilkada Jakarta 2018 dan pilpres 2019—bahkan mungkin sampai sekarang. Suara-suara protes dalam bentuk meme, karikatur, ‘kata-kata mutiara’ yang memparodikan elite politik kerap dianggap sebagai sikap tidak sopan, tidak sesuai dengan akhlak keislaman, dan budaya ketimuran yang menjunjung unggah-ungguh (sopan santun pada senior atau orang yang lebih tua).

Pada aksi bertajuk #ReformasiDikorupsi pun cara pikir itu masih hidup. Aksi masif yang melibatkan anak STM itu dianggap sebagai kemerosotan moral anak-anak Indonesia. Unggahan di Facebook menyatakan perlawanan pelajar dan mahasiswa dianggap sebagai kegagalan pendidikan di Indonesia.

Ekspresi demikian menunjukkan cara berpikir fasisme yang memberhalakan idola, tidak melihat substansi dan konteks. Mereka lupa, siapa pun yang “dituakan” sehingga timbul keharusan untuk berlaku sopan santun juga manusia yang bisa salah. Oleh karena itu, kita harus terus mengingatkan, protes adalah salah satunya. Dalam politik, saya pernah menulis tentang bagaimana pentingnya kita membedakan antara tubuh publik dan tubuh privat sehingga kritik atau protes yang dilayangkan kita alamatkan pada tubuh publiknya. Misalnya, mengkritik kebijakan Jokowi bukan berarti membenci Jokowi secara personal. Kritik dialamatkan pada tubuh publiknya sebagai Presiden RI. 

Lagi pula, apakah berteriak dan memaki-maki sebuah kebijakan di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)–misalnya–disebut tindakan yang tidak sopan? Oke. Sekarang, coba datang ke DPR dan carilah partai yang mampu menampung suara protes warga sipil dan mahasiswa. Apakah ada? Enggak ada. Oleh karena itu, suara protes  harus dihidupkan di jalanan. Itu adalah konsekuensi dari ketidakhadiran fungsi oposisi dalam tubuh DPR. Demokrasi kita memang tidak menghendaki oposisi secara formal dalam tubuh kekuasaan.

Kondisi ini dijelaskan oleh Herlambang P. Wiratraman dalam artikelnya yang berjudul “Pemilu dan Neo-Otoritarianisme”. Herlambang berangkat dari tesis bahwa ketentuan 20 persen ambang batas presiden hanya melahirkan politik transaksional. Menjelang pemilihan, partai-partai yang suaranya kurang dari 20 persen mau enggak mau harus berkoalisi.  Pembicaraan koalisi acap diwarnai soal untung-rugi atau politik dagang sapi, diskursus wacana mati. Menjadi oposisi pun tidak mendapat tempat dan tentu tak berdaya. Kita bisa melihat, bahkan semenjak tahapan pemilu pun, kekuasaan sudah terkonsolidasi agar tidak memungkinkan adanya kekuatan oposisi pada tingkatan formal.

Konstitusi menjamin kemerdekaan untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Memang, menyampaikan pendapat di muka umum bukan hanya melalui aksi turun ke jalan. Ada proses negosiasi dan audiensi, ada platform media sosial. Orang menyebutnya sebagai zaman digitalisasi. Semuanya sah. Tidak ada derajat mana yang lebih baik atau lebih buruk, tergantung pada kebutuhan. Ada yang bilang—termasuk dalam bedah buku Aldera—aksi turun ke jalan tidak lagi relevan. Tidak! Aksi turun ke jalan masih sangat relevan. Jika semuanya bisa jadi pilihan, mengapa tidak?

Sejarah perlawanan terhadap penguasa yang zalim hidup di jalanan. Revolusi Perancis berangkat dari kedai kopi hingga sepanjang jalan Kota Paris. Buruh-buruh Rusia bersama Lenin menyulut nyala api revolusi Bolshevick. Di Indonesia tak kalah bernasnya, pemberontakan petani terhadap penguasa kolonial sudah hidup bahkan sebelum Indonesia berdiri. Baca itu sejarah pemberontakan petani Banten Selatan dan pemberontakan Sedulur Sikep! Paling terbaru, lihatlah bagaimana Kartini Kendeng dan Wadon Wadas berada di garis depan dalam mengetok kepala penguasa agar tidak melampaui batas, memberikan derita (yang) sudah naik seleher!

Oh, sungguh. Saya jadi ingin menulis puisi. Kira-kira begini bunyinya:

Siapa yang lebih sopan santun?/Rakyat sipil yang turun ke jalan untuk protes atau kongkalikong kekuasaan dan kapital yang sewenang-wenang mengambil tanah orang?/Siapa yang lebih sopan santun?/Mahasiswa bercelana jeans dan tas polo yang berorasi memaki-maki sebuah kebijakan atau pejabat berdasi berbaju rapi berambut klimis yang diam-diam mengambil duit milik ratusan juta orang?/Siapa yang lebih sopan santun?/Rakyat sipil dan mahasiswa yang menyampaikan protes melalui parodi elite dalam spanduk dan poster atau aparat yang memiting, menendang, menyeret, dan memukul massa aksi tak bersenjata hingga babak belur sekujur tubuhnya?/Siapa yang lebih sopan santun?

Kesantunan dan demokrasi memang selalu menarik untuk dikaji, dikuliti, dan diobrolkan di kelas atau di angkringan sambil menyeruput kopi. Mengapa saya menguraikan hal di atas? Pertama, bedah buku itu forum publik yang dihadiri 1.600 orang lebih mahasiswa. Kedua, orang yang menyampaikan pernyataan itu saya dengar-dengar punya jabatan di kalangan mahasiswa Unnes, kira-kira orang berpengaruh. Ketiga, pernyataan itu dapat mendistraksi mahasiswa untuk berpikir dua kali sebelum mengikuti aksi. Dan itu dapat melemahkan gerakan. 

Tentu saja, tulisan ini bukan untuk menyerang pribadi yang menyatakan kalimat di muka. Tulisan ini adalah upaya untuk membincangkan substansinya. Namun, Kawan… Ada baiknya membuka ‘kaca mata’ dan melihat lebih luas, alih-alih melihat nilai sopan santun sebagai yang utama, ada persoalan ketidakadilan yang menurut saya lebih utama. Tentu saja, kawan-kawan yang turun ke jalan memang sedang menuruti hawa nafsu, yaitu hawa nafsu memberantas kezaliman dan kemungkaran yang ditimbulkan oleh penguasa.

Daftar Pustaka

Wiratraman, H. P. (2018). Pemilu dan Neo-Otoritarianisme. Prosiding Koferensi Nasional Hukum Tata Negara Ke-5: Tantangan Menjaga Daulat Rakyat Dalam Pemilihan Umum.

 

Abdul Manan [Tria]
*Mahasiswa Ilmu Politik Unnes 2019

Catatan: opini ini merupakan sikap pribadi penulis, bukan sikap redaksi maupun organisasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *