LINIKAMPUS Blog Kabar Kilas YLBHI Soroti Isu Keragaman Agama dalam Diskusi Refleksi
Kabar Kilas

YLBHI Soroti Isu Keragaman Agama dalam Diskusi Refleksi

Tangkapan layar situasi diskusi 'Refleksi 10 Tahun Situasi Kebebasan Beragama: 17 Agustus Tanpa Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan' pada Senin (19/08/2024) [Dok. YouTube YLBHI Indonesia]

Tangkapan layar situasi diskusi 'Refleksi 10 Tahun Situasi Kebebasan Beragama: 17 Agustus Tanpa Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan' pada Senin (19/08/2024) [Dok. YouTube YLBHI Indonesia]

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menggelar diskusi publik bertajuk ‘Refleksi 10 Tahun Situasi Kebebasan Beragama: 17 Agustus Tanpa Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan’ pada Senin (19/08/2024). Diskusi ini diadakan sebagai respons terhadap kebijakan dan kebebasan beragama di Indonesia yang selama 10 tahun terakhir masih tidak transparan, diskriminatif, dan kurang mewakili keragaman kelompok beragama dan berkeyakinan. Acara berlangsung di Gedung YLBHI, Jalan Diponegoro No 74, Menteng, Jakarta Pusat, dan disiarkan langsung di kanal YouTube Yayasan LBH Indonesia.

Setyawan Budi, narasumber diskusi, mengungkapkan adanya diskriminasi terhadap agama-agama minoritas di Jawa Tengah. Ia menjelaskan bahwa rekrutmen pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jawa Tengah periode 2024-2029 hanya melibatkan enam agama besar yang diakui negara, berbeda dengan periode sebelumnya yang melibatkan kelompok-kelompok agama kecil. Rekrutmen ini dinilai mengabaikan masukan dari masyarakat, tokoh agama lain, dan pengurus FKUB sebelumnya. Timnya telah mengusulkan kepada Kesbangpol Jawa Tengah untuk mempertimbangkan keterwakilan kelompok agama kecil, namun usulan tersebut ditolak. Akibatnya, mereka mengajukan keberatan administratif dan berencana untuk mengajukan banding.

“Kami khawatir, apa yang telah dibangun di Jawa Tengah menjadi rentan dengan rekrutmen pengurus FKUB seperti ini, terutama bagi kelompok agama minoritas. Kami berharap proses rekrutmen FKUB bisa lebih transparan dan mengakomodasi kelompok agama kecil, karena mereka juga memiliki hak yang sama sebagai warga negara,” jelas Setyawan Budi.

Narasumber kedua, Pendeta Palti, menyampaikan bahwa setelah pelaksanaan politik elektoral, terjadi tren peningkatan pelanggaran kebebasan beragama. Kenaikan ini menyebabkan munculnya ketegangan baru terkait pelanggaran Kabupaten Bandung Barat (KBB) di berbagai daerah. Salah satu bentuk pelanggaran yang dialami oleh kelompok kepercayaan adalah pelarangan pembangunan rumah ibadah. Pendeta Palti juga mencatat adanya peningkatan jumlah pengaduan setelah peluncuran hotline pengaduan mengenai kebebasan beragama dan berkeyakinan.

“Di satu sisi, saya bersyukur ada hotline ini karena banyak yang mengadu. Namun, di sisi lain, saya prihatin karena jumlah pengaduan menunjukkan masih banyak pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan,” ujar Pendeta Palti. 

Narasumber dari Setara Institute, Azim, melaporkan bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam 10 tahun terakhir mengalami stagnasi. Pada periode pertama Pemerintahan Jokowi (2014-2019), jumlah pelanggaran meningkat, dengan puncaknya pada tahun 2020. Namun, antara 2021 hingga 2023, angka pelanggaran tetap fluktuatif tanpa penurunan signifikan. Azim menyebut kondisi ini sebagai stagnasi baru. Jenis pelanggaran selama dekade terakhir termasuk penolakan kegiatan ibadah, pelarangan pembangunan rumah ibadah, penyegelan, dan pembubaran kegiatan ibadah kelompok agama tertentu.

“Kami melihat stagnasi dalam perubahan pada tiga aspek pembentukan iklim toleransi di Indonesia: kepemimpinan keteladanan, keteladanan birokratis, dan keteladanan masyarakat. Stagnasi ini tidak hanya terjadi di organisasi masyarakat sipil, tetapi juga di FKUB, yang seharusnya berperan dalam menjaga harmoni antarumat beragama dan masyarakat setempat,” terang Azim.

Di akhir diskusi, Alissa Wahid, tokoh Gusdurian, memberikan tanggapannya dan menekankan perlunya upaya bersama untuk memperkuat kebebasan beragama di Indonesia, sesuai dengan nilai-nilai yang diwariskan oleh Gus Dur.

Reporter: Faisal Chamim, Fazarani, Mustika Nur

Penulis: Mustika Nur, Fazarani

Editor: Ananda Fathiyyah

Exit mobile version