Pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan memproyeksikan penulisan ulang sejarah Indonesia yang akan dipublikasikan pada 17 Agustus 2025. Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebut bahwa penulisan ini akan menambahkan peristiwa pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo. Penulisan ulang sejarah ini dilakukan agar menyesuaikan dengan temuan-temuan baru oleh ahli sejarah dan arkeologi. Proyek ini menuai kekhawatiran masyarakat akan potensi manipulasi arsip sejarah yang akan terjadi pada saat proyek ini dijalankan.
Penulisan ulang sejarah sebelumnya pernah dilakukan sebanyak dua kali, yaitu masa Orde Baru dan masa Reformasi. Pada masa Orde Baru, proyek ini menghasilkan buku sejarah berjudul “Sejarah Nasional Indonesia” sebanyak 6 jilid dan per jilid membahas peristiwa dalam periode tertentu. Kemudian, masa Reformasi lebih tepatnya saat Susilo Bambang Yudhoyono menjabat sebagai Presiden RI ke-6, penulisan ulang sejarah menghasilkan buku berjudul “Indonesia Dalam Arus Sejarah” dengan jumlah 10 jilid.
Dalam penulisan ulang sejarah, terdapat banyak kontroversi yang salah satunya adalah penggunaan kata ‘sejarah resmi’. Harry Truman Siregar merupakan seorang arkeolog menjelaskan bahwa sejarah yang mau dibentuk, khawatir sesuai keinginan penguasa (pemerintah), bukan murni atas fakta. Beliau menilai bahwa penggunaan kata tersebut, pemerintah seakan-akan memiliki kuasa untuk menulis sejarah resmi, sedangkan versi lain tidak dapat dikatakan resmi.
Fadli Zon Meragukan Adanya Pemerkosaan Massal pada Tragedi Mei 1998
Pada Tragedi Mei 1998, terjadi pemerkosaan massal. Menurut data dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), ditemukan bahwa mayoritas korban merupakan etnis Tionghoa. Dalam wawancara di kanal YouTube IDN Times bersama Uni Lubis pada tanggal 10 Juni 2025, Fadli Zon menyebut peristiwa tersebut hanyalah rumor belaka dan tidak ada buktinya.
“Ada pemerkosaan massal? Betul enggak, ada pemerkosaaan massal? Kata siapa itu? Itu enggak pernah ada prof-nya. Itu adalah cerita. Kalau ada tunjukkan! Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak pernah ada,” tuturnya
Nugroho Bayu salah seorang dosen sejarah Unnes (Universitas Negeri Semarang), menyatakan ketidaksetujuannya dengan penulisan ulang sejarah. Ia beranggapan bahwa penulisan ulang sejarah tidak diperlukan karena sejarah sifatnya dinamis dan selalu berkembang. Selain itu, pernyataan Fadli Zon soal pemerkosaan massal merupakan pernyataan yang bersifat politis.
“Itu pernyataan politis ya, yang berbicara adalah seorang politisi gitu ya. Dia berbicara layaknya politisi. Saya rasa, mungkin dia ingin menyenangi penguasa, makanya ia berbicara seperti itu,” ujarnya.
Ia melanjutkan bahwa sejarah harus berperan dalam menunjukkan kapasitas hukum pada masa lalu. Sejarah dapat digunakan sebagai media pengingat untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Dengan demikian, dalam perspektif masyarakat, peristiwa-peristiwa yang dianggap sebagai “aib” tidak serta-merta menjadi peristiwa yang dapat dimaafkan.
Apa Pandangan Mereka terhadap Penulisan Ulang Sejarah?
Azzam, seorang mahasiswa Program Studi Ilmu Sejarah dari Unnes menanggapi terkait tragedi pemerkosaan massal Mei 1998. Dirinya juga menambahkan pandangan kritis terhadap pendekatan sejarah yang sifatnya Indonesia-sentris.
“Lagi pula buku-buku sejarah yang pernah ditulis di masa Orde Baru dan setelahnya, itu kan menggunakan Indonesia-sentris yang mana memfokuskan pada penekanan identitas bangsa. Yang kita perlukan seperti kata Bonnie Triana adalah historiografi otokritik dimana penulisan ulang sejarah ditekankan ada titik reflektif, jadi yang dihasilkan itu adalah tulisan sejarah yang reflektif,” tuturnya.
Azzam juga menambahkan, pernyataan Fadli Zon soal pemerkosaan massal hanyalah rumor, juga muncul akibat ideologi pemerintah yang Indonesia-sentris.
“Itu bentuk dari cerminan ideologis. Jika penulisan ulang sejarah Indonesia dengan pendekatan Indonesia-sentris berhasil, maka pemerintah akan menyingkirkan narasi yang tidak menguntungkan dirinya,” tambahnya.
Sikap Ideal Mahasiswa terkait Penulisan Ulang Sejarah
Zaskia, salah satu mahasiswa Program Studi Ilmu Politik dari Unnes, menyatakan bahwa sebagai mahasiswa tidak boleh hanya menjadi penonton atau penyimak, tetapi harus aktif mengikuti isu-isu yang berkembang. Salah satunya adalah penulisan ulang sejarah. Ia juga menegaskan bahwa mahasiswa harus bersikap kritis terhadap isu-isu seperti ini.
“Kita juga harus tetap kritis tentang isu-isu yang akan diangkat oleh pemerintah terkait penulisan sejarah ulang ini juga,” tuturnya.
Selain itu, Zaskia menambahkan bahwa sikap ideal mahasiswa adalah berpihak kepada kelompok atau korban yang selama ini tidak mendapat tempat dalam narasi sejarah resmi, terutama fakta-fakta yang kerap dimanipulasi. Ia menilai mahasiswa memiliki tanggung jawab moral untuk menyuarakan kebenaran.
“Banyak peristiwa atau fakta yang ditutupi, dimanipulasi, atau bahkan tidak pernah dibahas oleh pemerintah. Kita kan sebagai mahasiswa yang memiliki ilmu, punya tanggung jawab moral untuk mencari tahu dan menyuarakan kebenaran, meskipun fakta tersebut tidak selalu sesuai dengan narasi resmi dari pemerintah,” ujarnya.
Azzam berpandangan bahwa semua orang perlu memiliki keberpihakan kepada korban pemerkosaan pada Tragedi Mei 1998. Selain itu, ia menuturkan untuk tidak netral terhadap narasi sejarah. Sebab, sejarah selalu ditulis dari perspektif dan kepentingan tertentu. Maka, keberpihakan kepada korban menjadi tuntutan moral demi adanya sejarah yang adil dan manusiawi.
“Sikapnya harusnya menolak. Bisa melalui tulisan, diskusi, atau melalui pernyataan sikap dan lain-lain. Kita tunjukan dari sikap itu sebuah keberpihakan kepada korban. Jangan netral, karena dalam sejarah tidak ada netral, kalau netral berarti ikut keberpihakan kepada penindas,” pesannya.
Maka dari itu, keberpihakan kepada korban Tragedi Mei 1998 dalam penulisan ulang sejarah, sangat diperlukan dengan penuh kesadaran satu sama lain. Kita bisa membacanya dari sumber literasi terpercaya seperti Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Jika kita ingin meneropong, “Apakah pemerkosaan massal nyata terjadi saat Tragedi 1998?” bisa kita cari tahu lebih dalam tentang sejarah pendirian Komnas Perempuan, yang berangkat dari penolakan kekerasan terhadap perempuan pasca Tragedi Mei 1998.
Sumber sekunder: Komnas Perempuan
Reporter dan penulis: Adiel, Basith, Haidar
Editor: Puji Listari, Lidwina Nathania