Beranda Resensi Ulasan

Masa Depan itu Dibangun, Bukan Ditunggu

sampul buku abundance: how we build better future [
sampul buku abundance: how we build better future (sumber: Amazon)

Judul buku: Abundance: How We Build Better Future
Penulis: Ezra Klein dan Derek Thompson
Penerbit: Avid Reader Press
Tahun Terbit: Maret 2025
Jumlah Halaman: 304 halaman

Buku bertajuk Abundance ini merupakan karya kolaboratif Ezra Klein dan Derek Thompson yang mencoba menawarkan cara baru memandang masa depan progresif. Keduanya ingin menggeser narasi lama tentang keterbatasan dan pembagian menjadi visi tentang kelimpahan dan pembangunan. Sebagai kolumnis The New York Times dan penulis senior The Atlantic, Klein dan Thompson menyatukan pandangan mereka dalam kritik terhadap cara berpikir liberal yang terlalu sibuk mengatur dan menghindari risiko, tetapi kurang berani mencipta.

Premis utama buku ini sederhana, yakni masa depan yang lebih baik hanya bisa tercapai jika kita berani membangun dan menciptakan lebih banyak hal yang dibutuhkan manusia. Mereka menyebut gagasan ini sebagai a liberalism that builds (liberalisme yang membangun); sebuah pendekatan yang tidak menolak regulasi, tetapi menyesuaikannya agar lebih mendukung inovasi dan inisiatif konstruktif.

Klein dan Thompson menyoroti berbagai hambatan yang kerap memperlambat kemajuan, mulai dari regulasi zonasi, birokrasi berbelit, hingga prosedur lingkungan yang panjang. Menurut mereka, liberalisme Amerika kini lebih sibuk mencegah kesalahan daripada menciptakan kemajuan. Padahal, semangat membangun infrastruktur publik besar yang dulu menjadi ciri khas liberalisme telah memudar karena ketakutan akan dampak, litigasi, dan tekanan politik.

Buku ini dibuka dengan gambaran imajinatif tentang tahun 2050, sebuah masa di mana energi bersih, rumah terjangkau, transportasi cepat, dan kemajuan medis menjadi hal lumrah. Bagi mereka, visi itu bukan utopia, melainkan tujuan realistis jika hambatan institusional bisa dipangkas. Mereka juga menyoroti bagaimana regulasi yang awalnya dimaksudkan melindungi publik justru sering berubah menjadi jebakan yangmmenghambat inovasi.

Di bagian akhir, keduanya menawarkan “Agenda Kelimpahan”, sebuah kerangka kebijakan yang menggabungkan deregulasi kritis, fleksibilitas institusional, dan tanggung jawab sosial. Negara, menurut mereka, seharusnya menjadi fasilitator, bukan penghambat. Ia harus mempercepat izin, memperpendek environmental review bila memungkinkan, dan menggunakan dana publik untuk mendorong pembangunan tanpa menciptakan tumpukan syarat yang membingungkan.

Salah satu kekuatan utama buku ini adalah kemampuannya menjelaskan konsep rumit dengan bahasa yang mudah diikuti. Klein dan Thompson memadukan data, anekdot, dan analisis dengan gaya bercerita yang menarik. Mereka juga berani mengkritik kalangan liberal sendiri, para profesional progresif yang sering secara tidak sadar menciptakan penghalang pembangunan demi menjaga nilai estetika atau properti lokal

Kendati demikian, buku ini tidak bebas kelemahan. Beberapa peninjau menilai bahwa Klein dan Thompson terlalu menyederhanakan persoalan dengan asumsi bahwa jika hambatan regulasi dihapus, pembangunan otomatis terjadi. Padahal, keputusan investasi juga dipengaruhi oleh faktor pasar, risiko, dan motivasi korporasi, yang tidak banyak dibahas dalam buku ini.

Selain itu, seruan untuk memangkas regulasi juga menimbulkan kekhawatiran akan berkurangnya partisipasi publik. Pendekatan yang terlalu otoritatif bisa mengabaikan suara komunitas lokal dan kelompok rentan. Ulasan Noah Kaziz di harian The Guardian, memperingatkan bahwa penyederhanaan prosedur tanpa pengawasan justru bisa melemahkan proses demokrasi lokal.

Kritik lain menyebut buku ini kurang tajam dalam membahas kekuatan korporasi dan struktur pasar. Tanpa mekanisme yang mengatur dominasi ekonomi, deregulasi berisiko memperkuat oligarki. Selain itu, buku ini juga belum memberi rincian konkret tentang bagaimana Agenda Kelimpahan diimplementasikan dalam praktik, terutama dalam menjaga keseimbangan antara pertumbuhan dan keadilan sosial.

Meski berfokus pada konteks Amerika Serikat, ide-ide dalam Abundance tetap relevan bagi negara berkembang seperti Indonesia. Masalah klasik seperti perizinan lambat, tumpang tindih lembaga, dan resistensi lokal terhadap pembangunan juga terjadi di sini. Pendekatan liberalisme yang membangun bisa diterapkan dengan memperkuat kapasitas pemerintah daerah, menyederhanakan izin, dan menjaga keseimbangan antara efisiensi dan keadilan sosial.

Indonesia memiliki tantangan berbeda, mulai dari korupsi, kapasitas aparatur, hingga keterbatasan anggaran dan infrastruktur dasar. Karena itu, deregulasi saja tidak cukup. Perlu disertai transparansi, partisipasi publik, dan kontrol terhadap kekuatan korporasi agar hasil pembangunan tidak hanya menguntungkan segelintir elite.

Secara keseluruhan, Abundance adalah buku yang berani dan memprovokasi. Klein dan Thompson mengajak pembaca berpikir ulang tentang bagaimana negara dan pasar bisa bekerja sama membangun masa depan yang lebih baik. Meskipun tidak sempurna dan cenderung optimistik, buku ini menyulut diskusi penting tentang arah baru liberalisme dan semangat membangun yang inklusif.

Penulis: T.H. Hari Sucahyo, Pegiat di Cross-Diciplinary Discussion Group “Sapientiae”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *