Sudah Bayar UKT, Tertimpa SPI Pula
Opini Uncategorized

Sudah Bayar UKT, Tertimpa SPI Pula

[Doc. BP2M/Dian Erviana]

Oleh : Lalu Muhammad Jazidi

Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) menetapkan Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi No. 22 Tahun 2015 tentang biaya kuliah tunggal dan uang kuliah tunggal. Tampaknya, peraturan tersebut disambut baik oleh Universitas Negeri Semarang (Unnes). Terutama pasal 9 yang mengatur bahwa PTN dapat memungut pungutan lain selain Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Unnes akan menerapkan Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) kepada mahasiswa yang masuk melalui jalur Ujian Mandiri (UM). Artinya, mahasiswa baru yang masuk melalui jalur Ujian Mandiri harus membayar uang SPI sebesar lima sampai tiga puluh juta rupiah (jateng.tribunnews.com). Itu belum termasuk UKT yang jumlahnya hingga jutaan rupiah.
Bagi saya, kita yang sudah menjadi mahasiswa Unnes barangkali tidak begitu mempermasalahkan adanya SPI. Akan tetapi, berbeda bagi kawan-kawan yang memiliki teman, sahabat, kerabat yang ingin melanjutkan studi di kampus berwawasan konservasi ini.
Melihat dari sisi lebih luas, ini bukan masalah teman, sahabat, dan kerabat saja, melainkan menjadi masalah bangsa dan negara. Pasalnya, ekonomi mempengaruhi tingkat pendidikan seseorang. Sejalan dengan apa yang dikatakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2, Muhammad Nuh, “Tingkat ekonomi mempengaruhi tingkat pendidikan. Ekonomi rendah menghalangi masyarakat untuk menjangkau pendidikan yang lebih layak. Hal itu terjadi di Indonesia” (sindonews.com).
Jika biaya yang harus dikeluarkan seseorang untuk menempuh perguruan tinggi bertambah, tentu mempersulit seseorang untuk mendapatkan pendidikan tinggi. Realitasnya, dilansir dari Express No.9 Vol. 13, sebelum adanya kebijakan penetapan SPI, ada mahasiswa baru Pendidikan Teknik Otomotif tahun 2015 asal Tegal yang harus berkerja keras menjadi buruh pembuat batu bata di desanya untuk membayar UKT. 
Rabun
Jauh
Entah apa yang sebenarnya pemerintah pikirkan. Agaknya aturan pemungutan biaya selain UKT tersebut adalah salah satu imbas pengurangan jatah dana pendidikan dari APBN. Dalam laporan APBN 2016 Kemenristekdikti mendapatkan jatah sebesar Rp37,98 triliun dari sebelumnya Rp43,79 triliun. Disisi lain, pemerintah terus mendorong pertumbuhan insfrastruktur. Anggaran difokuskan lebih banyak pada kementerian teknis pembangunan infrastruktur (news.okezone.com).
Menurut saya, ini memberikan kesan bahwa pemerintah menderita rabun jauh dalam menentukan kebijakan. Pemerintah hanya fokus pada pembangunan infrastruktur yang tampak menjanjikan dan bisa terlaksana dalam waktu dekat. Bila boleh suudzon, ini demi kepentingan pencitraan politik belaka karena infrasturktur memiliki wujud yang bisa dipamerkan kepada masyarakat. Sementara apa yang bisa dilihat dari hasil pendidikan? Sudah tidak jelas bentuknya, tak bisa dipanen sampai pemilihan umum.
Pemerintah tak mampu melihat keuntungan yang dapat diperoleh jika biaya pendidikan tinggi dipermudah. Keuntungan jangka panjang cenderung tak terlihat, samar dan buram di mata pemerintah. Bukankah sang bapak pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara berpesan, “lawan sastra ngesti mulya,” dengan ilmu kita menuju kemuliaan.
*Mahasiswa Ilmu Politik 2014, 
Reporter Majalah Kompas Mahasiswa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *