Lingkaran Karma Perempuan Poliandris Drupadi
Buku Uncategorized

Lingkaran Karma Perempuan Poliandris Drupadi

Dok. Lala/buku Drupadi tampak depan
Oleh : Lala Nilawanti

Judul : Drupadi
Penulis : Seno Gumira Ajidarma
Cetakan         : 2017
Penerbit         : PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 149 halaman
ISBN : 978-602-03-3687-9

Bicara soal perempuan, tidak ada yang bisa mengalihkan kata cantik. Kecantikan menjadi satu paket bonus dalam kehidupan seorang perempuan. Tetapi berbeda dengan Drupadi. Seperti salah satu novel Eka Kurniawan yang berjudul “Cantik Itu Luka” seperti itu lah kiranya Drupadi dengan kecantikan yang dianugerahkan oleh para dewa. Drupadi diciptakan dari sekuntum bunga teratai yang sedang merekah.


Kecantikan Drupadi bagai cahaya gemilang yang akan mencerahkan kegelapan -(hal.123). Begitu Seno Gumira Ajidarma menggambarkan pesona kecantikan yang dimiliki Drupadi.

Tidak seperti perempuan-perempuan zaman sekarang yang sangat mendamba-dambakan sebuah kencantikan hanya untuk dipuji dan dihormati, tetapi Drupadi dicintai dan dihormati melebihi bidadari karena begitu manusiawi. Seperti penghayatan Drupadi sebagai perempuan dengan suami lima, ia hidup dalam lingkaran karma yang begitu kejam dan kodrat yang tidak bisa terhindarkan.  
Sepanjang hidupnya Drupadi ingin memanusia dan dewa-dewa memberinya puncak-puncak kebahagiaan maupun penderitaan yang paling mungkin dialami manusia.

Apalah artinya diriku ini, perempuan yang setiap hari ditimang dan disayang dengan penuh larangan. Gerak langkah serba harus terjaga, kini akan disayembarakan pula. -(hal.4)

Begitulah Drupadi bersua pada takdirnya. Jatuh cinta kepada Arjuna dalam pandangan pertama, namun menjadi istri para Pandawa, dan akhirnya dihina para Kurawa. Segala kemuliaan sebagai putri istana dan permaisuri maharaja telah direnggutnya. Namun, segala kenistaan yang bahkan tidak akan dialami manusia tanpa kasta pun diarunginya.

Terhina, terusir, dan terlunta-lunta di dalam hutan bukanlah derita sembarangan. Baik dan buruk, benar dan salah, derita dan bahagia, semua itu telah menjadi bagian dari kehidupan Drupadi.      

Dalam Novel Drupadi, Seno Gumira Ajidarma begitu menggambarkan penderitaan sebagai seorang perempuan meskipun Drupadi adalah putri kerajaan sekalipun. Bahkan untuk didengar dan memberikan pendapat, Drupadi harus terhina terlebih dahulu.

Bukankah pria dan wanita sesungguhnya setara? Tapi mereka tidak pernah menyertakan perempuan! Aku adalah istri mereka berlima. Mereka bahkan tidak bertanya apa pendapatku! Padahal diantara semua orang yang hadir disini, hanya akulah terseret-seret oleh segenap kebodohan kurawa. -(hal.96)

Drupadi begitu murka atas peghinaan Kurawa terhadap dirinya. Bahkan dia mengatakan tidak akan menggelung lagi rambutnya sebelum mengeramasi rambut Drupadi dengan darah Dursasana yang telah menelanjangi dan memperkosanya atas kekalahan Pandawa berjudi dengan Kurawa.

Berbeda dengan Ardian Kresna yang lebih dahulu menerbitkan novel berjudul Drupadi pada tahun 2013, Seno Gumira Ajidarma menyelipkan puisi-puisi yang begitu mengikat dan dalam. Sebagai awal alur cerita yang baru, puisi ini menjadi pembuka yang manis.

Meskipun tidak sedetail Ardian Kresna dalam menceritakan peristiwa, Seno Gumira Ajidarma hanya memperkuat peristiwa-peristiwa penting yang menggairahkan pembaca lewat penderitaan yang dialami Drupadi sebagai perempuan poliandris. Ini terbukti karya Seno Gumira Ajidarma hanya berjumlah 149 halaman dibandingkan karya Ardian Kresna yang berjumlah 422 halaman. Tetapi, itu tidak menjadi kelemahan dalam novel ini. Peristiwa yang singkat itu diciptakan dengan diksi yang begitu mengikat pembaca, sehingga apik untuk dinikmati dengan deskripsi yang diceritakan penulis.

Sudah sejak 1984 cerita setiap bab dalam novel ini diciptakan Seno Gumira Ajidarma hingga tahun 2006. Sepuluh bab ini telah dimuat dalam berbagai koran harian dan majalah mingguan. Ilustrasi karya Danarto bertuliskan tahun 2014 juga ikut memperindah novel ini.

Sosok Drupadi dengan dendamnya sebagai perempuan poliandris memberikan pelajaran bahwa hidup di dunia bukan hanya soal kita menjadi baik atau menjadi buruk, tetapi soal bagaimana kita bersikap kepada kebaikan dan keburukan itu. Bahkan menjadi satu-satunya perempuan di sisi Pandawa membuatnya amat berharga meski harus terhina dan terlecehkan.

Lima lelaki itu tidak akan mendapat kemantapan tanpa perempuan, dan hanya perempuan seperti Drupadi mampu berbagi dengan penuh keadilan. (hal.125)

Novel ini berakhir dengan kematian Drupadi yang begitu menyayat hati. Setelah dendamnya terhadap Dursasana telah usai, Drupadi melengkapkan roda putaran kehidupan. Dimana Drupadi menjalani karma harus kehilangan lima orang anak Pandawa yang dipenggal kepalanya. Drupadi dan kelima Pandawa melaksanakan pemusnahan—suatu cara untuk menyalakan jiwa dengan sumber kehidupan. Pergilah mereka ke puncak Mahameru. Puncak Mahameru adalah tidak cukup dicapai dengan tubuh, melainkan dengan jiwa. Disinilah Drupadi merenggang nyawa dengan salju yang membekukan tubuhnya.

*Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia 2016

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *