Survei Sikap Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Terhadap Aksi Demonstrasi
Opini

Bangkitkan Lagi Guru Tanpa Tanda Jasa

[Ilustrator Lala Nilawanti]
Oleh Lala Nilawanti

Pembengkakan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) membuat lulusan sarjana pendidikan pun melimpah. Tiap tahun jumlah sarjana pendidikan  yang diluluskan LPTK sekitar 260.000 orang. Namun, yang terserap untuk ikut Pendidikan Profesi Guru (PPG) hanya sekitar 27.000 orang. (Kompas, 12 Maret 2018).

Hal ini sempat mengundang angin segar bahwa penyebab utama digalakannya PPG adalah peningkatan mutu tenaga pendidik. Tetapi rupanya ada ujung tombak yang lebih tajam. Alih-alih mempertahankan angin segar tersebut, PPG lebih menggiurkan karena guru akan meraih sertifikat yang besarnya satu kali gaji pokok.

Berlakunya Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen tersebut menjanjikan kesejahteraan pada guru berupa penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum. Guru yang bersertifikat pendidik dapat meraih penghasilan tiga kali lipat daripada PNS lainnya.

Apakah ini yang menimbulkan kecemburuan bagi lulusan kependidikan dan ilmu murni ? akarnya, adalah ketika lulusan LPTK harus ikut bersaing dengan non-LPTK untuk mendapatkan sertifikat profesi guru. Banyak asumsi yang muncul akan bertambahnya saingan menjadi guru. Keterbatasan waktu karena harus mengikuti PPG. Hingga dugaan paling kejam bahwa guru telah dikomersialisasi karena biaya pemerolehan sertifikat profesi guru yang mahal.

Hilangkan Tanda Jasa
Saya sempat teringat oleh Tjetjep Rohendi Rohidi, Profesor di Universitas Negeri Semarang (Eks IKIP) pada pengantarnya di buku Spirit Ideolgois Pendidikan Seni milik Triyanto, bahwa pelaksanaan pendidikan bukanlah sebuah robot yang hanya patuh pada kendali yang bersifat normatif.

Apalagi pelaksanaan kebijakan, namun menjadi interpretator yang bertaggung jawab untuk memproduksi makna-makna baru berdasarkan sistem keyakinan yang dapat dipertanggung jawabkan.
Di sinilah guru atau calon guru menentukan nasibnya.

“Engkau patriot pahlawan bangsa, tanpa tanda jasa”. Pasti kalian tidak asing dengan penggalan lirik lagu ini, Himne Guru lagu nasional ciptaan Sartono begitu sakral dinyanyikan para murid untuk mengghormati gurunya.

Tanpa tahu alasan konkret dari Sartono merubah liriknya menjadi “Engkau patriot pahlawan bangsa, pembangun insan cendikia” pada 2015 menjadi momok mengerikan kebringasan upah guru. Anggap saja ini adalah perkiraan yang paling buruk, terlepas dari arti sebenarnya.

Lalu kemana diksi “tanpa” wahai para guru atau calon guru? Apakah kalian juga ikut menghilangkan semangat itu? Apakah kalian begitu mendambakan tanda jasa itu? Sungguh muridmu tidak mempunyai apa-apa kecuali ketidaktahuannya.

Istilah kejamnya, jika guru difitrahkan harus bertugas mendidik manusia untuk berwatak, berpengetahuan, dan berketerampilan. Kemuliaan itu tidak akan tergantikan dengan uang. Hanya dengan ketulusan mengabdilah guru melewati kekejaman itu.

Baca Juga: Guru Profesional 4.0

Pendidikan Humanisme
Polemik profesi guru ini mengingatkan saya pada buku Roem Topatimasang. Sekolah Itu Candu begitu ciamik mengulas ihwal dunia pendidikan. Topatimasang secara tandas menuliskan jika Anda ingin memperbaiki mutu pendidikan, maka perbanyaklah jumlah gedung sekolah, tingkatkanlah jumlah dan kemampuan guru, tambahlah prasarana dan sasaran belajar, dan seterusnya.

Amat menyayat hati ketika realita dunia pendidikan di Indonesia masih carut marut,  sedangkan gurunya hanya memikirkan upah dan kuliatas hidupnya saja.

Fenomena ini menyudutkan pemerintah yang tidak lagi percaya dengan lulusan LPTK. Artinya untuk menjadi guru diperlukan syarat yang tidak ringan. Tidak sembarang orang boleh dan menjadi guru.

Dengan kata lain, upaya pembaharuan ini cuma berpusing-pusing membongkarpasang gejala permukaan  (epifenomena) dari sistem pendidikan, bukan inti permasalahan yang sebenarnya. Apa yang terjadi bukanlah inovasi yang sesungguhnya, tetapi proses involusi. Karena faktanya, masih banyak sekolah yang kekurangan guru.

Kita cermati lagi aliran ideologi pendidikan humanise. Pendidikan saat ini tidak lagi dianggap peserta didik sebagai objek, tetapi sebaliknya sebagai subjek. Pelaksanaan pendidikan harusnya memfokuskan pada optimalisasi potensi yang dimiliki peserta didik.

Humanisme merupakan paham yang menganggap manusia sebagai objek studi terpenting. Terutama, pada sifat-sifat kemanusiaannya. Murid dipandang dengan segala sifat-sifat kemanuisaanya, maka potensi yang ada pada murid, yakni potensi yang bersifat psikologis, sosial, dan kultural haruslah menjadi objek perhatian secara komperhensif.

Inilah peran guru yang sebenarnya. Memastikan muridnya benar-benar menjadi manusia, tidak sibuk dengan kebutuhan kemanusiaannya sendiri.

Untuk mengabdi menjadi seorang guru tidaklah harus PNS, tak harus memiliki sertifikat. Itu hanya cara lama dari kenormatifan. Karena pada hakikatnya, guru adalah mereka yang tulus membagi ilmunya kepada orang lain.

Sungguh kalian telah disediakan lahan pahala. Maka jadilah guru yang sebenarnya. Guru yang selalu ingin belajar, guru yang selalu haus pengetahuan dan guru yang tidak mengenal tanda jasa.

*Mahasiswa Sastra Indonesia 2016
Universitas Negeri Semarang

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *