Buku tampak depan.[Doc.BP2M/Lala] |
Judul : Seri Buku TEMPO: GIE dan Surat-surat yang Tersembunyi
Tahun Terbit : 2016
Kategori : Biografi & Otobiografi, Seri TEMPO,
Jumlah Halaman : 117 halaman
Ukuran : 160×230 mm
Penerbit : KPG
Empat puluh delapan tahun yang lalu, Indonesia kehilangan sosok yang begitu menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan keadilan. Dia seorang pemuda yang getol dengan segala ketidakadilan yang terjadi di Indonesia.
Dia seorang aktivis yang tak kenal takut dengan penguasa. Barangkali dia adalah sosok yang paling dikenal pada tahun 1966. Sosok yang begitu banyak membawa perubahan negeri ini.
Ya, dia adalah Soe Hok Gie, pemuda yang lahir dari keluarga Tionghoa pada 17 Desember 1942. Gie telah memiliki sikap kritis sejak kecil. Sikap kritis itu ia warisi dari keluarganya. Bapaknya adalah seorang penulis dan Arif Boediman, kakaknya, juga seorang wartawan yang sangat kritis.
Sikap kritis Gie terus tumbuh hingga ia kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Ia sangat aktif menuangkan kritikannya ke dalam tulisan. Tulisannya pun banyak dimuat di berbagai media.
Menulis baginya adalah sebuah keharusan. Karena ia bisa menumpahkan perasaan dan analisisnya terhadap situasi sosial-politik kala itu di dalam tulisannya.
Gie adalah mahasiswa yang paling berpengaruh pada masanya. Ia merupakan tokoh yang menjadi inisiator demonstrasi sepanjang tahun 1965. Wajar saja jika ia dikenang sebagai “Sang Demonstran”.
Gie juga dikenal karena menyumbang ide-ide segar dan strategi yang liar. Seperti saat mahasiswa Sastra dan Psikologi melakukan unjuk rasa dan berhadapan dengan ABRI. Gie lah yang mengusulkan ide agar mahasiswi ikut dalam aksi tersebut, sehingga para ABRI hanya terdiam. Herman, yang waktu itu menjadi Ketua Senat Fakultas Sastra pun berkata, “Kala berhadapan dengan perempuan, hati tentara langsung lumer.”
Keresahan Gie
Akhirnya buku ini hadir sebagai perekam jejak surat-surat tersembunyi Soe Hok Gie yang disimpan dalam map hijau oleh Arief Budiman, kakak kandung Gie. Selain surat-surat tersembunyi Gie, Arif juga menyimpan artikel Gie yang pernah dimuat di berbagai media massa. Artikel-artikel tersebut telah diterbitkan dalam buku Zaman Peralihan (1995).
Tapi, ada sejumlah surat Gie kepada sahabat dan kekasihnya yang belum pernah dibuka. Beberapa surat melukiskan hubungan dengan teman-temannya sesama pendaki gunung dan kritiknya terhadap para pemimpin mahasiswa yang berebut jabatan di pemerintahan setelah Presiden Soekarno jatuh.
Selain itu, dia menulis keresahan soal pembantaian masal anggota Partai Komunis Indonesia. Padahal Gie adalah sosok yang antikomunis. Tapi justru dialah yang paling mendesak pemerintah agar mengehentikan pembantaian tersebut.
Baginya nyawa manusia lebih berharga. “Rasa hormat manusia Indonesia terhadap hidup begitu turun dan menganggap bahwa membunuh manusia-manusia yang berbeda pendapatnya dengan ‘pribadi’-nya adalah sesuatu yang wajar.” begitulah surat yang dia tulis kepada kawannya, Boediono, bertarikh 26 November 1967.
Tampak jelas kerisauan Gie terhadap nasib kaum komunis yang diburu dan dibunuh, khususnya di daerah Purwodadi dan Bali. Keresahan ini akhirnya ia tulis dalam opini di koran Mahasiswa Indonesia dengan judul “Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-besaran di Pulau Bali”. Ia menulis dalam dua edisi dengan nama samaran Dewa.
Gie juga memberikan surat kepada teman-temannya sesama aktivis’66 yang sudah menduduki jabatan di bawah Soeharto. Surat-suratnya itu sarat akan satir terhadap teman seperjuangannya dulu. Gie menganggap mereka yang menduduki jabatan telah menodai perjuangan NKRI. Cara memberikan suratnya pun terkesan unik yaitu dengan memberikan gincu dan kutang untuk teman seperjuangannya tersebut.
“Kami kecewa kepada teman-teman di sana. Mereka seperti dikebiri, sudah banci,” ujar Mardillam, teman Gie yang juga aktivis’66. Hok-gie kecewa karena teman-teman yang duduk di dewan sudah tak lagi kritis dan tak lagi berani. (hlm 89)
Tak hanya sampai di surat, buku ini juga menceritakan lika-liku kehidupan Gie dari cerita keluarga, sahabat dan kawannya. Buku ini juga memuat kisah kematian Gie yang diceritakan oleh kawan-kawannya yang ikut naik gunung bersama. Diantaranya Aristides, Herman Onesimus Lantang, Abdurrachman alias Maman, Anton Wijaya alias Wiwiek, Rudi Badu, Idhan Dhanvantari Lubis, dan Freddy Lodewijk Lasut.
Herman ingat kondisi Hok-gie saat itu sudah lemas. Ia coba menuntunnya turun menuju shelter. “Tahu-tahu dia enggak ngomong. Menggelepar,” ujar Herman mengecek pergelangan tangan Hok-Gie, tak ada denyut nadi. Pemuda yang vokal mengkritik pemerintah itu tewas beberapa jam sebelum merayakan ulang tahunnya yang ke-27” (hlm 98)
Akhirnya, buku yang merupakan hasil publikasi ulang dari majalah Tempo edisi 10-16 Oktober 2016 ini memberikan kita gambaran sosok Hok-gie melalui mulut keluarga, sahabat-sahabatnya, dan kawan seperjuangan Gie.
“Ada satu tulisan yang cukup untuk menggambarkan dirinya, “Rasanya saya adalah seekor burung yang tak punya kaki. Jadi, saya terpaksa terbang terus di antara awan-awan dan tanah. Tetapi, sebelum saya mati saya masih dapat berkata, ‘Ya, saya telah hidup dan merasa panas dan hujan’,” tulisannya dalam sepucuk surat kepada Nurmala Kartini Panjaitan bertanggal 23 Juli 1968.” (hlm 14)
Mahasiswa Jurusan Teknik Mesin 2014
Universitas Negeri Semarang