[Ilustrator BP2M/ Lala Nilawanti] |
Mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes) kembali melakukan aksi terkait Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan penolakan uang pangkal. Aksi serupa sudah pernah dilakukan sejak pertama kali uang pangkal diberlakukan birokrasi Unnes. Melihat perkara ini sudah sekian lama tidak selesai juga seperti menonton pertandingan dengan batas waktu yang tidak pernah ditentukan.
Jika memang bentuk aksi dan tindakan lainnya dalam perkara UKT dan uang pangkal ini bisa kita katakan pertandingan atau bahkan pertarungan antara mahasiswa dengan birokrat Unnes, maka sejauh ini satu-satunya yang memenangkannya adalah egoisme. Kedua belah pihak agaknya masih terlalu egois dan berpegang teguh pada pandangannya sendiri. Betapa tidak, setelah sekian tahun perkara ini berjalan, belum ada juga sebuah jalan tengah yang bisa dicapai. Akhirnya, mahasiswa dan birokrasi harus menguras tenaga lagi dalam aksi demi aksi.
Baca Juga: Mahasiswa Tuntut Penghapusan Uang Pangkal
Kemenangan egoisme manusia agaknya semakin besar saja pada aksi hari senin (4/6) kemarin. Lihatlah, seperti yang diberitakan linikampus.com bagaimana birokrasi berusaha menghalangi mahasiswa yang akan melakukan aksi. Mulai dari penghadangan hingga pintu rektorat ditutup bahkan digembok. Saya hanya bisa berharap rekorat kita hanya menggembok bentuk fisiknya saja. Semoga rektorat tidak pula digembok pikiran dan hati nurani nya untuk menerima kritik dan saran dari mahasiswa.
Bagaimana dengan pihak mahasiswa? Saya sendiri sangat mengapresiasi tindakan mahasiswa kali ini yang memberikan pemberitahuan terlebih dahulu sebelum melakukan aksi. Dengan cara itu mahasiswa menunjukkan bahwa aksi bukanlah sebuah tindakan mengancam. Bahwa aksi merupakan sebuah cara menyampaikan aspirasi.
Namun, egoisme yang terlampau tinggi juga masih menguasai mahasiswa. Sikap egois ini terlihat dari keengganan pihak mahasiswa untuk hanya berdialog dengan birokrasi Unnes. Mereka ingin agar birokrat bersepakat dengan pandangan mereka terkait kasus ini. “masa aksi tidak akan hanya menerima dialog bersama pimpinan Unnes. Karena tujuan utama masa aksi adalah rektor harus menemui masa dan menyepakati dihapusnya uang pangkal.” (linikmpus.com, Mahasiswa Menolak Berdialog dengan Birokrat)
Baca Juga: Mahasiswa Menolak Berdialog dengan Birokrat
Saya mengatakan ini egois karena tidak adanya niat untuk mencapai titik tengah. Bahwa pandangan mahasiswa lah yang benar, maka birokrat harus mengikutinya. Seakan kesan itulah yang muncul dari tindakan mahasiswa yang sudah enggan untuk menggunakan jalur dialog. Padahal, menurut saya, jika mahasiswa memiliki alasan yang cukup kuat untuk berpegang teguh dengan pandangannya bahwa uang pangkal harus dihapuskan, maka argumen yang cerdas dan rasional adalah cara terbaik untuk menyakinkan dan memaksa birokrasi Unnes menyepakatinya. Jika begitu, sangguplah mahasiswa dengan birokrat berdebat secara terbuka terkait perkara ini. Bukan dengan debat kusir, tapi benar-benar debat untuk mencapai titik tengah sebagai kebaikan bersama.
Sibuk Dengan Diri Sendiri
Sependek pengetahuan saya terkait kasus ini, baik mahasiswa maupun birokrasi Unnes masih hanya sibuk dengan dirinya sendiri. Mahasiswa membuat diskusi, birokrat membuat rapat. Mereka memiliki hasil “demi kebaikan bersama” versi masing-masing. Selanjutnya mereka bersikukuh dengan versi itu. Kurang atau bahkan hampir tidak ada usaha untuk saling memahami satu sama lain.
Memang sudah berkali-kali dan di berbagai forum kedua pihak ini dipertemukan. Akan tetapi, apakah dalam pertemuan itu mereka saling mengdengarkan? Saling menyimak? Saling berusaha menemukan titik temu? Saya ragu.
Dalam pengalaman saya memoderatori diskusi yang dihadiri kedua pihak itu, mereka hanya memaparkan temuan, pandangan, dan asumsi pihaknya saja. Sangat jarang untuk bisa menerima dari pihak sebrangnya. Bahkan, ada juga pernyataan dari kedua belah pihak yang bertentang terkait satu perkara yang sama.
Baca Juga: Perbedaan Pendapat dalam Aksi Tolak Uang Pangkal
Saya sebagai wasit seperti melihat dua tim voli yang bermain voli tapi di tengah net terdapat kaca penghalang. Masing masing tim memasang penghalang agar bola dari tim seberang tidak masuk ke wilayahnya. Pemain dari satu tim akan melempar bola. Bola itu membentur kaca penghalang dan kembali ke tim itu juga. Begitulah kedua tim bermain dengan kaca penghalangnya sendiri. Bola (baca: argumen atau pandangan) tidak pernah lewat ke tim lainnya.
Jika ingin perkara ini usai dengan win win solution, saya rasa perlulah kedua belah pihak menghilangkan penghalang itu dan mulai saling oper bola dari satu pihak ke pihak lainnya.
Bukan perkara menang kalah
Meskipun dari mula saya mengubaratkan kasus ini seperi pertandingan atau bahkan pertarungan, tapi takut juga saya jika ini benar-benar menjadi pertandingan. Dalam pertandingan ada menang-kalah. Sungguh takut rasanya jika kedua belah pihak bersikukuh dengan pandangannya sendiri karena merasa tidak mau kalah. Maka untuk menang, pandangannya lah yang harus diterima dan diterapkan.
Ketakutan itulah yang membuat saya menulis ini. Sebagai sesama warga Unnes, saya merasa memiliki kewajiban untuk saling mengingatkan. Bahwa perkara UKT, atau perkara apapun yang jadi masalah di Unnes bukanlah sebuah tempat bagi kita untuk mencari menang kalah. Bahwa yang kita cari adalah “kebaikan bersama” dimana semua warga unnes, pegawai, mahasiswa, birokrasi, dan bahkan warga sekitar Unnes bisa mendapatkan kebaikan bersama itu.
Baca Juga: Polemik Aksi Diam: Lanjutan Tolak Uang Pangkal
Maka sebagai penutup tulisan ini, saya akan mengajukan pertanyaan kepada kedua belah pihak. Pertanyan ini tidak penting untuk dijawab. Cukuplah ditanyakan ke dalam pikiran dan nurani masing-masing.
Pertanyaan buat mahasiswa: Apakah yang saudara perjuangkan? Penghapusan uang pangkal, atau kesejahteraan dan kepentingan mahasiswa?
Pertanyaan buat birokrat: Kenapa saudara menggembok pintu itu? Apakah saudara sudah merasa paling pintar dan paham sehingga menutup diri dari mahasiswa yang masih goblok? Atau anda merasa bahwa mahasiswa adalah ancaman?
*Mahasiswa Universitas Negeri Semarang