Sekolah Tanpa Pekerjaan Rumah (PR)
Opini

Sekolah Tanpa Pekerjaan Rumah (PR)

 
Oleh Ivan Nurazis
 

Beberapa hari ini dunia pendidikan dasar menengah sedang diramaikan oleh kebijakan salah satu dinas pendidikan di Provinsi Jawa Timur tentang pelarangan guru memberikan Pekerjaan Rumah (PR). Dinas Pendidikan Kota Blitar, melarang guru memberikan Pekerjaan Rumah (PR) untuk siswa-siswinya.

Model pendidikan Tanpa PR
Sekolah Sarekat Islam atau yang biasa dikenal sebagai Sekolah SI merupakan salah satu contoh model pendidikan yang tidak menerapkan Pekerjaan Rumah dalam metode pembelajarannya. Anak-anak tidak seharus memberikan waktunya untuk diberatkan oleh berbagai macam tugas sekolah yang terkadang tidak sesuai realita.

Tan Malaka dalam bukunya SI Semarang dan Onderwijs (1921), menyatakan fakta bahwa anak-anak suka bekerja keras untuk mencari kepandaian, yang perlu kelak buat keperluan hidup (seperti membaca, menulis, berhitung, bahasa dsb). Itu memang kewajiban guru, supaya kelak anak-anak yang keluar dari sekolah SI cukup membawa senjata untuk perjuangan kelak dalam hal mencari pakaian dan makanan buat anak istrinya. Pula kita tidak lupa, bahwa ia masih kanak-kanak dalam usia mana ia belum boleh merasa sengsara hidup dan berhak atas kesukaan bergaul sebagai anak-anak.

Baca Juga Opini: Bangkitkan Lagi Guru Tanpa Tanda Jasa

Murid Sekolah Sarekat Islam tidak diberatkan oleh tugas yang membebani dan pekerjaan rumah karenanya anak-anak tidak boleh kehilangan masanya dan berhak atas kesukaan bergaul bersama teman temannya. Hal tersebut menunjukan bahwa pada Sekolah Sarekat Islam justru yang memiliki peran yang sangat besar dalam mengembangkan murid-muridnya di sekolah adalah seorang guru. Seorang guru harus mampu memberikan bekal yang cukup bagi murid muridnya dalam kehidupan.

Tidak hanya Sekolah Sareakat Islam, dikutip dari bobogrid.id, prinsip dasar dalam sekolah/pendidikan Taman Siswa yang menjadi pedoman bagi seorang guru dikenal sebagai Patrap Triloka. Konsep ini dikembangkan oleh Suwardi setelah ia mempelajari sistem pendidikan progresif yang diperkenalkan oleh Maria Montessori (Italia) dan Rabindranath Tagore (India/Benggala). Patrap Triloka memiliki unsur-unsur (dalam bahasa Jawa).

• Ing ngarsa sung tulada  “(yang) di depan memberi teladan”),
• Ing madya mangun karsa  “(yang) di tengah membangun kemauan/inisiatif”),
• Tut wuri handayani  “dari belakang mendukung”).

Baca Juga Opini: Diskriminasi Pendidikan

Justru dalam konsep dasar pengajaran Sekolah Taman Siswa adalah seorang guru yang menjadi kunci perkembangan seorang murid. Pada sekolah model ini guru harus mampu memberikan teladan didepan, membangun kemauan ditengah, dan memberikan dukungan dibelakangnya. Ki Hajar Dewantara selalu mengatakan bahwa seorang anak tidak boleh kehilangan masa kanak kanaknya.

Dari semua uraian diatas sebenarnya menitik beratkan pada kualitas pengajaran yang terjadi di sekolah yang akan membuat perkembangan murid optimal. Bukan Pekerjaan Rumah (PR) yang diberikan kepada murid. Banyak penolakan kebijakan ini adalah dari para guru yang merasa terbebani dengan adanya kebijakan tersebut.

Kebijakan Tanpa PR
Latarbelakang adanya kebijakan ini adalah untuk memberikan siswa atau murid memiliki waktu belajar bersama keluarga dan lingkungannya. Dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan tentang tiga jalur pendidikan, yakni: (1) jalur pendidikan pendidikan formal, (2) jalur pendidikan informal, dan (3) jalur pendidikan nonformal.

Dalam Undang-Undang Sisdiknas menyebutkan ada tiga jalur pendidikan dan diantaranya ada pendidikan informal. Pendidikan informal atau juga dikenal dengan pendidikan keluarga, atau pendidikan yang dilaksanakan oleh keluarga, dalam hal ini oleh orang tua, atau oleh ibu dan ayah serta orang dewasa di dalam keluarga.

Keluarga merupakan lembaga pendidikan pertama dan utama dalam proses pendidikan. Sedang ibu dan bapak merupakan pendidik yang pertama dan utama yang melaksanakan proses pendidikan tersebut. Hal ini kembali kepada pengertian pendidikan (pedagogi) yang bermakna sebagai mendidik atau membimbing anak di dalam keluarga tersebut. Anak adalah manusia yang belum dewasa, dalam arti yang belum bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya sendiri. Dalam konteks itulah pendidikan keluarga tersebut dimaknai.

Baca Juga Opini: Mewujudkan Peembenahan Pendidikan

Perkembangan anak tidak hanya bisa dilakukan di sekolah tetapi peran keluarga sebagai madrasah pertama anak sangatlah penting. Di sisi lain pada era milenial sekarang yang dikhawatirkan anak akan lebih banyak menghabiskan waktu bermain game. Justru ada runtutannya dengan keberhasilannya kapitalisme mengubah gaya hidup anak anak. Bila orang tua berperan aktif dalam pendidikan informal secara aktif maka kebijakan ini akan menjadikan anak tumbuh dan mengenal realitas lebih jauh setelah mendapatkan ilmu dan teori di pendidikan formal atau sekolah.

Bagi siswa sekolah menengah atas baiknya digunakan untuk menambah kemampuan diri melalui apapun yang dapat menambah komptensi diri. Hal tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan nonfromal, siswa dapat mengikuti pelatihan ataupun kursus softskill ataupun hardskill guna menambah kemampuan dalam diri sehingga dapat menjadi manusia yang berkualitas dan produktif nantinya.

Dapat saya simpulkan bahwa kebijakan pelarangan guru memberikan Pekerjaan Rumah (PR) bagi siswa atau murid adalah sangat baik. Hal tersebut akan memberikan kesempatan pada anak-anak usia sekolah dasar dan menengah pertama bisa lebih dekat dengan keluarga dan masyarakat. Sedangkan bagi siswa atau murid sekolah menengah atas hal tersebut dapat dimanfaatkan untuk menambah kapasitas dalam diri. Tak luput juga kebijakan ini sarat akan sentilan bagi seorang guru bahwa harus lebih optimal lagi dalam memberikan pengajaran agar murid mencapai perkembangan dengan optimal.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *