Resensi Ulasan

Sepak Bola Indonesia dan Luapan Keresahan

Sampul Buku Ahimsa: Surat Protes untuk Sepak Bola Indonesia [BP2M/Naufal]
Sampul Buku Ahimsa: Surat Protes untuk Sepak Bola Indonesia [BP2M/Naufal]

Oleh: Naufal Labib*

Judul buku       : Ahimsa: Surat Protes untuk Sepak Bola Indonesia

Penulis          : Yamadipati Seno

Penerbit         : Buku Mojok

Tahun terbit     : Oktober 2019 (Cetakan Pertama)

Jumlah halaman   : vi + 163 

“Sepak bola Indonesia disusun oleh basis suporter yang kuat dan federasi yang menaungi. Sayangnya basis yang kuat semakin menjadi kuat ketika “memukul” suporter lain. Sementara itu, federasi yang menaungi semakin masuk angin. Bahkan, menteri olahraga yang diharapkan bisa jadi jujugan curhat pun kena masalah hukum.” (hlm 4)

Sebagai sebuah gambaran dari representasi kondisi sepak bola Indonesia saat ini, saya pikir kutipan di atas sangat tepat untuk disematkan. Seno sebagai penulis begitu tegas mengungkapkan pandangannya. Sebuah kalimat keresahan yang layak divalidasi.

Carut-marut kondisi persepakbolaan di Indonesia memang begitu sangat pelik. Sebagai seorang suporter, saya pun merasakan hal itu. Mulai dari tata kelola federasi yang bermasalah, setengah-setengahnya tingkat profesionalitas kontestan liga, hingga perseteruan panas di tribun suporter. Rentetan persoalan itu menjelma daftar panjang bagaimana ironisnya kompetisi dan pertandingan-pertandingan pada salah satu cabang olahraga paling populer di negeri ini.

Secara garis besar, buku ini berisi luapan-luapan keresahan penulis tentang sepak bola Indonesia. Yamadipati Seno menuangkan masalah dan kegundahannya dalam 28 judul esai yang kemudian menjadi satu-kesatuan sebagai sebuah surat protes untuk sepak bola Indonesia.

Semangat Ahimsa untuk Menjaga Sepak Bola

Seperti yang dibubuhkan Seno dalam judul buku ini, Ia mengusung semangat ahimsa oleh Mahatma Gandhi sebagai ajakan bersama merawat sepak bola Indonesia. Dalam esai awalnya, Ia menjelaskan seperti apa itu prinsip ahimsa yang dapat diterapkan seluruh stakeholder sepak bola Indonesia. Hal tersebut adalah bentuk upaya merawat dan menjadikan federasi, klub, hingga suporter ke arah yang lebih baik.

“Penghuni yang saling menjaga, membuang kekerasan dan niat membunuh (ahimsa) yang akan menggaransi masa depan.” (hlm 5)

Prinsip ahimsa dijelaskan penulis sebagai suatu konsep yang seharusnya mudah dipahami oleh seluruh stakeholder sepak bola Indonesia. Dengan penerapan itu, diharapkan segala rasa lelah atas beragam kebobrokan yang terjadi di sepak bola Indonesia dapat segera disudahi untuk masa depan yang lebih gemilang.

Kebobrokan yang dipertontonkan dalam pusaran ekosistem sepak bola Indonesia hingga saat ini teramat menjenuhkan. Sebagai suporter, saya merasa begitu lelah, sama persis dengan apa yang diutarakan Seno dalam bukunya. Sepak bola Indonesia memiliki federasi yang sering tersandung persoalan klasik, di mana itu sering kali terjadi tanpa upaya belajar dari kesalahan masa lalu. Sudah menjadi rahasia umum jika pengelolaan liga Indonesia selalu menemui masalah yang sama tiap musimnya, mulai dari jadwal yang asal buat, tidak tepatnya pelaksanaan kick off liga, bertabrakannya jadwal liga domestik dengan kalender FIFA, hingga kasus rangkap jabatan di posisi ketua umum PSSI.

Sederet permasalah itu juga ditambah dengan perseteruan panas di tribun suporter. Beberapa kali bentrokan kecil hingga besar terjadi di laga-laga derbi. Lebih parahnya, gesekan itu menimbulkan korban jiwa. Dampak yang terjadi tentu tidak hanya berakibat pada organisasi suporter itu sendiri, melainkan klub yang mereka dukung juga mendapat sanksi. Hal ini jelas dapat menghambat perkembangan klub dan pemain-pemainnya.

Sepak Bola yang Masih Terjajah Masalah

Sebuah judul yang menurut saya sangat penting dalam buku ini, Indonesia Merdeka, Tapi Sepak Bolanya Masih Dijajah 5 Hal Ini. Rangkaian esai dalam buku ini menurut saya cukup jelas dan terangkum dalam satu judul esai tersebut. Seno menjelaskan lima hal utama yang membuat sepak bola Indonesia dianggap masih terjajah dan susah berkembang. Lima perihal yang disebut Seno sebagai bentuk penjajahan terhadap sepak bola Indonesia di antaranya masalah kepentingan politik dalam sepak bola, pembinaan pemain dengan aksi instan oleh operator liga, minimnya infrastruktur yang memadai, kondisi keuangan klub yang tidak sehat, dan masih belum mengertinya beberapa suporter terhadap makna persatuan.

Intervensi politik dalam sepak bola Indonesia seperti tidak ada habisnya. Memang, sejak awal pendirian PSSI sebagai federasi telah dicetuskan oleh seorang tokoh politik pergerakan. Adalah Ir. Soeratin Sosrosoegondo, seorang tokoh yang juga menduduki posisi sejajar komisaris di perusahaan Belanda yang kemudian mundur atas dasar semangat nasionalisme. Selepas meninggalkan jabatannya, Soeratin aktif di pergerakan pemuda melawan Belanda. Selanjutnya, Ia membentuk organisasi sepak bola nasional untuk menyatukan para pemuda. Dilansir dari Pssi.org bahwa Soeratin melihat sepak bola sebagai wadah terbaik untuk menyemai nasionalisme di kalangan pemuda sebagai sarana untuk menentang Belanda.

Dari situlah awal mula pendirian PSSI yang memang terdapat unsur politik pemuda dalam melawan Belanda. Sayangnya, yang terjadi saat ini adalah sepak bola ditunggangi dan disalahgunakan sebagai batu loncatan politisi mendulang suara. Setelah tidak butuh, mereka meninggalkannya, tanpa tanggung jawab berarti. Sebagai suporter, saya merasakan bagaimana klub kesebelasan kebanggaan saya ditunggangi politisi. Seorang calon kepala daerah menjanjikan segala macam infrastruktur dan uang kepada klub, namun apa yang terjadi setelah Ia terpilih adalah janji-janji kosong semata, setelah itu, klub terseok-seok melanjutkan liga. Tak perlu saya sebut siapa, kupikir ini dirasakan oleh banyak klub lainnya di Indonesia.

Lebih parahnya, intervensi politik ini terjadi di tubuh federasi. Saat ketua umum Edy Rahmayadi merangkap jabatan sebagai gubernur Sumatera Utara dan membawa kepentingannya dalam pelaksanaan tugasnya di PSSI. Posisi Edy sebagai gubernur dan mantan anggota TNI sekaligus ketua PSSI saat itu, dijelaskan dalam buku ini sebagai salah satu dampak alotnya pengusutan kasus Alm. Banu Rusman, seorang suporter Persita yang meninggal usai gesekan dengan suporter PSMS Medan yang saat itu dipenuhi kalangan para tentara. 

Berbicara soal masalah ketua PSSI, dalam buku ini terdapat dua judul esai yang hampir sama, yakni Surat Terbuka untuk Edy Rahmayadi dan Surat Terbuka (Kedua) untuk Edy Rahmayadi. Saya pikir itu adalah sebuah keresahan yang sudah melebih batas kesabaran.

Masalah beruntun hingga kesalahan fatal yang terjadi selama kepemimpinan Edy Rahmayadi sebagai ketua umum PSSI pada saat itu, ditulis dan diungkapkan Seno dengan bahasa yang sedikit sarkas. Namun tetap memberi solusi konkret, yaitu mundur dari jabatan ketum.

Lebih lanjut, hal lain yang disebut Seno sebagai penjajahan sepak bola Indonesia adalah pembinaan pemain dengan aksi instan oleh operator liga. PT. LIB sebagai operator liga mengusulkan aturan tanpa striker asing atas dasar minimnya jumlah talenta pada posisi itu di skuad timnas. Hal ini tentu banyak mendapat respon yang kontra, bagaimana jika setelah itu yang kurang posisi gelandang atau bek? Atau kiper? Sepak bola kita seharusnya melakukan pembinaan yang baik, bukan aksi instan dengan regulasi yang tidak masuk akal.

Minimnya infrastruktur yang memadai untuk menunjang kualitas dan perkembangan kontestan liga juga disebut Seno sebagai hal yang menjajah sepak bola Indonesia. Selain itu, terdapat pula kondisi keuangan klub yang tidak sehat, hal ini membuat seretnya pembayaran gaji dan urusan kebutuhan hingga akomodasi klub saat kompetisi. Terakhir, masih belum mengertinya beberapa suporter terhadap makna persatuan, menyebabkan sering terjadi bentrok di stadion maupun di jalanan saat pertandingan.

Rivalitas Berlebihan

Permasalahan rivalitas dan perseteruan suporter banyak dibahas dalam buku ini. Tidak asing lagi memang jika Indonesia terkenal dengan basis suporternya yang sangat fanatik. Sayangnya, tingkat fanatisme itu tidak disertai dengan akal sehat dan prinsip-prinsip kemanusiaan ketika mendukung kesebelasan. 

Beberapa kasus yang dituliskan Seno dalam buku ini adalah kasus-kasus yang memilukan. Fenomena keberingasan oknum suporter yang menghabisi nyawa manusia tanpa ampun sungguh sangat tidak wajar. Menurut Seno dan saya pikir menurut diri saya pribadi, hal itu harus segera disudahi.

Pertandingan besar seperti Persija melawan Persib, Arema menghadapi Persebaya, PSS vs PSIM, dan masih banyak lagi laga-laga panas lain adalah pertandingan besar yang sering menyulut api permusuhan suporter. Seharusnya, pertemuan antarklub tersebut dapat disikapi dengan bijak, dengan sikap yang berpandangan bahwa lagi itu hanya sebagai pertandingan yang selesai di atas rumput hijau dalam 2×45 menit saja. Selebihnya, kita semua adalah Indonesia. Tak ada perbedaan yang seharusnya dipermasalahkan, tujuan kita semua sama, untuk timnas yang maju, liga yang profesional, dan bisa bersaing di kancah dunia. Ahimsa! Mari saling menjaga.

“Menyakiti dan tidak disakiti adalah dikotomi yang jernih. Mana yang baik dan mana yang tidak baik. Hanya demi harga diri kosong, kita memilih menyakiti. Glorifikasi rival menjadi bumbu yang tak sedap.” (hlm 2)

Kutipan di atas adalah keresahan penulis yang menurut saya tegas untuk menyadarkan oknum-oknum brutal di tribun suporter.

Lanjut lagi, keresahan penulis dituangkan ketika rasa pilunya tak dapat menyaksikan laga besar yang sangat Ia tunggu-tunggu. Derbi yang seharusnya dapat dinikmati langsung di stadion baik kandang maupun tandang terpaksa tak bisa dihadiri. 

“Menonton sepak bola adalah hak semua manusia. Apalagi untuk laga-laga yang sangat dinantikan seperti derbi. Kondisi “dipaksa” tidak menonton adalah situasi yang memilukan untuk semua suporter.” (hlm 116)

Menurut saya, untaian keresahan dalam beberapa esai yang ditulis Seno dalam masalah bentrok suporter adalah imbas dari rivalitas yang berlebihan. Pakem-pakem yang ada dalam sisi regulasi, hukum, dan HAM telah diterjang begitu saja atas nama gengsi semata.

Mafia Sepak Bola di Indonesia

“Sepak bola, pertandingan, tidak terjadi di atas lapangan hijau, melainkan di dalam lorong-lorong gelap rekening mafia bola.” (hlm 27)

Kutipan di atas menggambarkan bagaimana situasi pertandingan sepak bola Indonesia yang telah diatur sedemikian rupa untuk kepentingan-kepentingan orang atau klub tertentu. Dalam buku ini, tidak disebutkan jelas siapa yang menjadi pelaku dan pertandingan-pertandingan mana yang telah terbukti di atur. Namun, dalam beberapa berita di media Indonesia telah mengangkat banyak kasus mulai dari perjudian bola, pesanan lolos kasta tertinggi, hingga sepak bola gajah (sengaja mengalah atau tidak sportif). 

“Maka sungguh sakit ketika kerja keras yang panjang itu dirusak oleh pengaturan pertandingan, oleh mafia bola. Air mata, keringat, dan darah itu tidak punya makna ketika kemenangan sebuah tim tidak ditentukan oleh kualitas, tapi oleh kesepakatan di bawah meja.” (hlm 27)

Penulis mengungkapkan keresahan yang Ia rasakan dalam kutipan di atas. Kasus pengaturan pertandingan yang terjadi adalah bagaimana orang di luar lapangan dengan kepentingannya menentukan siapa yang menang dan siapa yang juara dari balik meja, dengan suap-menyuap, dan iming-iming tertentu, bukan atas perjuangan pemain dan kepiawaian pelatih meracik strategi. Kasus pengaturan pertandingan ini telah sampai pada pengusutan secara hukum oleh aparat kepolisian hingga Polri membentuk Satgas Antimafia Sepak Bola Indonesia.

Dari beberapa latar belakang itu, dan masalah bertumpuk yang telah ditulis oleh Seno, saya kemudian bersepakat dengannya. Bagaimana Ia menjelaskan banyaknya permasalahan pelik di sepak bola Indonesia dengan bahasa yang lugas dan mudah dipahami membuat saya sadar dan memvalidasi pernyataannya. Tambah lagi, yang menarik dalam kepenulisannya, terdapat bahasa yang mengandung sarkas dan menohok, saya pikir dapat memantik para pelaku pengganjal kemajuan sepak bola Indonesia untuk segera introspeksi.

Sekali lagi menurut saya, setelah membaca buku ini dan menyaksikan langsung bagaimana bobroknya persepakbolaan Indonesia, menjadi sangat layak jika sepak bola Indonesia diberikan sebuah surat protes!

 

*Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes 2019

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *