Sinyal Buruk Kemunduran Demokrasi
Opini Ulasan

Sinyal Buruk Kemunduran Demokrasi

Ilustrasi Sinyal Buruk Kemunduran Demokrasi [BP2M/Tria]

Oleh: Diki Mardiansyah*

Berita tentang kemunduran demokrasi di masa pandemi menghiasi surat kabar dan media sosial. Jika terus dibiarkan, kondisi demikian berpotensi mengancam kebebasan sipil masyarakat dan melahirkan rezim otoritarianisme. Sehingga menjadi tantangan bagi kita semua untuk menjaga demokrasi terlebih di situasi seperti sekarang.

Kita sejenak membaca koran harian Kompas tertanggal 18 Januari 2021 dengan menaruh harapan. Koran menerangkan: Presiden Joko Widodo menegaskan komitmennya menjaga demokrasi. Namun, ungkapan Presiden Jokowi itu ternyata berkebalikan dengan kondisi demokrasi mutakhir. Menurut Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) mencatat sebagian besar dari 38 elite masyarakat yang mengikuti survei menilai demokrasi di Indonesia sedang menurun. Hal itu pun diperkuat oleh laporan indeks demokrasi 2020 yang dilakukan The Economist Intelligence Unit (EIU).

EIU menyebut pandemi Covid-19 telah mengakibatkan banyak negara mengalami kemunduran dalam demokrasi. Misalnya, sejumlah negara melakukan pencabutan kebebasan sipil, serangan terhadap kebebasan berekspresi, dan kegagalan dalam akuntabilitas demokrasi yang terjadi akibat pandemi.

Ada beberapa argumentasi penting penyebab kemunduran demokrasi di Indonesia. LP3ES menerbitkan buku berjudul Nestapa Demokrasi di Masa Pandemi: Refleksi 2020, Outlook 2021 garapan Wijiyanto dkk (2021). Buku menuliskan beberapa sebab kemunduran demokrasi. Pertama, situasi kemunduran demokrasi terjadi karena masalah struktural dan oligarki semakin kuat, masuk ke dalam berbagai lapisan institusi kekuasaan. Kedua, masalah agensi di mana kekuatan konstitusional dipakai untuk menyimpang. Ketiga, ketiadaan oposisi dan masyarakat sipil yang lemah semakin memperkuat watak otoriter dari kekuasaan tersebut.

Sependapat dengan ketiga penyebab tersebut, kemunduran demokrasi yang disebabkan oleh hilangnya oposisi akan berpotensi melahirkan tirani. Kita pun barangkali mengingat lagu karya Marjinal, yang liriknya berbunyi:

kami marah melihat negeri ini yang ternodai ambisi kaum tirani

kami marah melihat negeri ini

di mana keadilan bagaikan mimpi tak berfungsi

Tantangan

Pandemi Covid-19 menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia—dan  tentunya negara lain—yang tengah mengalami kendala serius kemerosotan kualitas demokrasi. Hilangnya oposisi dan masyarakat sipil yang lemah akan membuat pemerintahan menjadi otoriter dan praktik diktatoral semakin kuat. Hal itu, kemudian menjadi tantangan kita bersama dalam menjaga demokrasi di Indonesia. Sebagaimana yang masih disebutkan juga di buku garapan Wijiyanto dkk itu, Civil Society dalam demokrasi yang ada sekarang sangat lemah dan suara parlemen untuk check and balance hampir mustahil, karena yang ada di sana saling berebut kekuasaan. Demokrasi di Indonesia akan memburuk akibat tidak adanya check and balance kekuasaan.

Dua dekade terakhir, kemunduran demokrasi memang terjadi di berbagai negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Kemunduran demokrasi kian mengarah pada praktik pemerintahan otoriter, atau istilah yang disebut Jimly Asshiddiqie—Pakar Hukum Tata Negara—sebagai diktator konstitusional. Di tengah pandemi ini, kondisi demokrasi kita semakin memprihatinkan. Ada korelasi antara demokrasi dan pandemi yang masih belum berakhir hingga sekarang.

Pandemi menjadi salah satu tanda semakin memburuknya demokrasi di Indonesia, terutama dalam hal penanganan Covid-19. Pengelolaan mitigasi pandemi Covid-19 yang buruk memiliki keterkaitan dengan kondisi regresi demokrasi yang saat ini sedang dihadapi Indonesia. Ada dua relasi antar penanganan pandemi yang buruk dan kemunduran demokrasi. Kemunduran demokrasi berdampak pada kemampuan dan kapasitas pengelolaan pandemi yang tidak efektif.

Warburton dan Aspinall (2019) menulis artikel menarik berjudul Explaining Indonesia’s Democratic Regression: Structure, Agency and Popular Opinion. Artikel tersebut menerangkan: ada tiga penyebab faktor dari kemunduran demokrasi, yaitu: struktural, elite politik, dan perilaku masyarakat. Struktural, warisan tingkat korupsi yang sangat tinggi dan struktur politik oligarkis masih terjadi hingga kini, meskipun kita sudah di masa reformasi. Winters dan Hadiz—peneliti asal Australia—berpandangan bahwa lapisan elite oligarki yang terbentuk pada masa Orde Baru masih tetap berkuasa dan masih tetap mempertahankan posisinya setelah perubahan rezim. Perilaku masyarakat sendiri, termasuk penguasa sebagai pemangku kebijakan, yang acuh tak acuh terhadap kondisi demokrasi menjadi salah satu faktor dari kemunduran demokrasi.

Dampak dari kemunduran demokrasi itu misalnya hak-hak dan kebebasan sipil masyarakat, kesempatan untuk berpartisipasi dalam politik, dan ruang untuk diskusi publik yang kritis ikut terkikis. Sementara itu, Asfinawati, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), berpendapat terkikisnya demokrasi dapat terlihat dari tidak dilibatkannya rakyat dalam pembangunan skala besar. Pemerintah tidak pernah bertanya kepada rakyat, padahal pembangunan tersebut tidak dikehendaki oleh rakyat. Pembangunan memang terkadang berbenturan dengan kepentingan masyarakat bawah, terlebih soal ruang hidup. Ada pembangunan infrastruktur megah berdampingan dengan tangisan masyarakat yang mengalami penggusuran.

Kita membaca opini Wijiyanto di harian Kompas bertarikh 14 Januari 2021. Wijayanto menulis: kemunduran demokrasi di Indonesia adalah toleran ataupun kelalaian dalam mencegah terjadi kekerasan/teror siber. Seperti toleransi atau pembiaran aparat keamanan terhadap teror siber yang menimpa para aktivis yang bersikap kritis terhadap pemerintah. Awalnya, teror siber dialami para aktivis yang menolak revisi UU KPK September 2019.

Ravio Patra menjadi salah satu korban teror siber. Hal yang sama juga dialami oleh para mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang tergabung dalam Constitutional Law Society (CLS FH UGM). Mereka merencanakan diskusi bertajuk “Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” pada Mei 2020. Bukan saja demokrasi yang terkikis, tetapi kebebasan akademik di kampus pun bernasib sama. Dari semua kasus, belum ada satu pun yang diusut sampai tuntas siapa pelakunya.

Majalah Tempo edisi 24 Oktober 2020 mencatatkan: aparat kian serampangan mengkriminalkan mereka yang berseberangan dengan pemerintah. Suara-suara kritis dibungkam. Kini bukan hanya barisan oligarki yang harus disalahkan. Presiden pun bertanggung jawab atas kemerosotan demokrasi di Indonesia. Berbagai macam kasus hak berekspresi dan berpendapat menjadi bukti nyata, demokrasi kita sedang tidak baik-baik saja.

Mahasiswa punya andil dalam melakukan kritik terhadap kebijakan atau langkah pemerintah yang sewenang-wenang. Kritik bisa melalui tulisan atau perlawanan pamungkas dengan aksi turun ke lapangan menjadi beberapa langkah menjaga keberlangsungan demokrasi di negeri ini.

Jika melihat beberapa waktu belakangan, mahasiswa sudah melakukan demonstrasi yang digelar di berbagai daerah di Indonesia. Aksi tersebut di antaranya penolakan terhadap  revisi UU KPK dan pengesahan UU Cipta Kerja. Namun, demonstrasi, aksi mahasiswa, hingga pernyataan sikap dari akademisi tak digubris. Produk hukum yang legislasinya kata Zainal Arifin Mochtar ugal-ugalan itu, tetap disahkan. Akibatnya, dampak revisi UU KPK mulai terlihat dari penonaktifan 75 pegawai KPK, penghentian kasus megakorupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia  (BLBI), hingga kasus korupsi mangkrak.

Indonesia sebagai negara hukum dan negara demokrasi, sudah semestinya tetap menjaga iklim demokrasi yang sehat di negeri ini. Terutama, menjamin keselamatan bagi warga negaranya yang mengkritik dan memberikan masukan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang sewenang-wenang.

Diki Mardiansyah [Dok. BP2M]
*Mahasiswa Ilmu Hukum Unnes 2018

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *