LINIKAMPUS Blog Ulasan Opini Pemilihan Rektor: Di Mana Suara Mahasiswa?
Beranda Opini Ulasan

Pemilihan Rektor: Di Mana Suara Mahasiswa?

Ilustrasi Pemilihan Rektor: Di mana Suara Mahasiswa? [BP2M/Alfiah]

Ilustrasi Pemilihan Rektor: Di mana Suara Mahasiswa? [BP2M/Alfiah]

Survei Sikap Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Terhadap Aksi Demonstrasi

 

Oleh: Adinan Rizfauzi*

 

Beberapa waktu lalu, saya menyimak salah satu story WhatsApp seorang kolega sesama mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes). Pada unggahan tersebut, ia mengekspresikan dukungannya terhadap salah satu bakal calon Rektor Unnes periode 2022-2026.

Sejak awal tahun, kabar ihwal pelaksanaan pemilihan rektor Unnes memang santer terdengar. Sayangnya, pada pergelaran pergantian orang nomor satu di kampus ini, mahasiswa Unnes hanya ditempatkan sebagai penonton saja. Mereka tidak diberi hak untuk turut serta dalam pemilihan dan penentuan calon rektornya.

Mahasiswa seharusnya tidak hanya mafhum mengenai pemilihan umum (Pemilu) di tingkat nasional atau sebatas pemilihan umum raya (Pemira) di lingkup kampus. Namun, mahasiswa juga perlu memahami dan menyoroti dengan lebih jauh perihal sirkulasi pergantian rektor di kampusnya.

Bukan tanpa alasan, rektor merupakan seseorang yang menduduki jabatan tertinggi di lingkaran kampus. Setiap kebijakan dan keputusan yang ia ambil akan berdampak luas, termasuk berdampak langsung terhadap para mahasiswanya.

Nihilnya Hak Suara Mahasiswa Unnes

Mahasiswa merupakan civitas academica yang secara kuantitatif berjumlah paling banyak dari unsur lainnya. Di kampus Unnes, tercatat pada portal data Unnes (data.unnes.ac.id), mahasiswa beralmamater kuning ini berjumlah tak kurang dari 45 ribu. Dengan angka yang dominan itu, mahasiswa Unnes justru tidak terlibat dalam proses pemilihan rektornya secara langsung.

Pada Peraturan Senat No. 3 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pemilihan Rektor Unnes, tidak sekalipun term “mahasiswa” disebutkan. Pada aturan itu, anggota senat universitas dan menteri, khususnya Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) adalah pihak yang memiliki hak suara dalam pemilihan pimpinan tertinggi kampus; rektor.

Prosedur seperti itu memang tidak hanya diterapkan di Unnes saja, tetapi juga di kampus lain yang umumnya masih berstatus Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTN BLU). Tak heran, Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) No. 21 Tahun 2018 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Pemimpin PTN pun juga mengatur hal yang sama, tiadanya hak suara mahasiswa dalam pemilihan rektor.

Padahal, dengan jumlahnya yang lebih banyak, mahasiswa merupakan kelompok yang paling terdampak dari kebijakan yang dihasilkan oleh rektor terpilih. Misalnya saja peraturan yang menyangkut uang kuliah tunggal (UKT) atau bahkan aturan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus yang mesti ditandatangani oleh seorang rektor.

Selain itu, pelibatan mahasiswa dalam urusan pemilihan rektor juga merupakan salah satu bentuk pembelajaran demokrasi. Jika melibatkan semua mahasiswa dianggap sebagai suatu yang radikal, pelibatan mahasiswa bisa dimulai melalui perwakilan yang sudah terlegitimasi oleh sesama mahasiswanya. Dengan itu, diharapkan adanya komunikasi, aspirasi, dan partisipasi di antara mahasiswa.

Pada akhirnya pengawalan mahasiswa dalam ajang pemilihan rektor di kampus akan semakin menguat. Dengan adanya pengawalan tersebut, cepat atau lambat, masalah menahun ihwal minimnya transparansi dalam proses pemilihan rektor pun akan teratasi. Selain itu, mahasiswa akan lebih terdorong untuk mengenal calon rektor yang ada. Situasi tersebut akan meminimalisasi terpilihnya calon rektor yang tidak berintegritas dan memiliki track record yang buruk.

Bagaimana Situasi di Kampus Lain?

Menoleh ke kampus seberang, pada tahun ini Universitas Gadjah Mada (UGM) juga tengah melaksanakan pemilihan rektor. Berbeda dengan sebelumnya, untuk pertama kalinya, mahasiswa UGM dapat terlibat pada pemilihan rektornya. Walaupun bukan dengan sistem one man one vote layaknya pada sistem pemilihan umum nasional, mahasiswa UGM dapat menyumbangkan suara mereka melalui sistem electoral college.

Menyitir informasi dari balairungpress.com, sistem tersebut memungkinkan mahasiswa melibatkan diri dengan cara mengadakan musyawarah di tingkat fakultas untuk dibawa ke tingkat universitas. Hasil dari musyawarah tersebut akan disampaikan ke Majelis Wali Amanat Unsur Mahasiswa (WMA UM). Unsur tersebut adalah pihak dari kalangan mahasiswa yang mempunyai hak suara dalam pemilihan rektornya secara langsung.

Walaupun suara yang dibawa dari MWA UM di UGM hanya empat persen dari total suara, tetapi paling tidak hal tersebut dapat memancing antusiasme mahasiswa untuk mengawal pemilihan rektor di kampusnya. Itu terlihat dari beberapa postingan akun lembaga atau forum yang ada di UGM. Salah satunya unggahan akun Instagram Aliansi Mahasiswa UGM (@aliansimahasiswaugm) yang menyoal pemilihan rektor di kampusnya.

Selain UGM, beberapa kampus lain yang sudah menyandang status PTN Berbadan Hukum juga melibatkan mahasiswa dalam pemilihan rektornya, seperti Universitas Indonesia (UI), Universitas Padjadjaran (Unpad), dan Institut Teknologi Bandung (ITB).

35 Persen Suara Menteri

Pada Permenristekdikti No. 21 Tahun 2018, disebutkan bahwa menteri memiliki suara 35 persen dari total suara. Sisanya, sebanyak 65 persen dimiliki oleh senat universitas. Pada peraturan senat Unnes No. 3 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pemilihan Rektor Unnes pun tidak ada bedanya. Pada pasal 14 ayat (4) disebutkan bahwa menteri memiliki 35 persen hak ingin suara dari total pemilih yang hadir.

Banyak kalangan beranggapan bahwa regulasi yang memberikan 35 persen hak suara kepada menteri itu merupakan pintu masuk dari adanya kepentingan politik yang ada di kampus. Melalui aturan tersebut, sebenarnya kita bisa melihat betapa kampus bukanlah suatu ruang yang steril dari politik.

Sudah seharusnya, di kampus yang memiliki status badan hukum maupun bukan, mahasiswa bisa mendapatkan hak suara dalam pemilihan rektornya. Hak suara dari menteri yang dianggap terlalu besar dan yang menyebabkan intervensi negara pada dunia pendidikan tinggi terlalu dalam, agaknya dapat dipangkas dan diberikan sebagian kepada unsur mahasiswanya. Itu dapat dilakukan dengan cara merevisi aturan yang selama ini berlaku, baik di tingkat peraturan menteri maupun peraturan di internal kampus yang saat ini dijadikan alas dalam tata cara pemilihan rektornya.

Namun, situasi tersebut bukanlah sesuatu yang tiba-tiba datang dari langit. Perlunya tekanan dari mahasiswa terhadap otoritas untuk mengubah sistem yang saat ini berlaku dan itu tidak akan terjadi apabila mahasiswa hanya diam dan sudah puas dengan keadaan yang ada.

Adinan Rizfauzi [BP2M/Alfiah]
*Mahasiswa Ilmu Politik Unnes 2020

Exit mobile version