Survei Sikap Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Terhadap Aksi Demonstrasi
Uncategorized

Mata Baca

Oleh: Siti Fatimah
Kalau di
salah satu televisi swasta ada program acara Mata Najwa, dan dalam
pelajaran bahasa Indonsia
ada tanda baca,
lalu terlintas dalam
benakku untuk membuat kolaborasi dua kata juga. Gabungan satu kata
benda dan satu kata
kerja; Mata
Baca. Seperti
halnya Mata untuk Najwa dan Tanda untuk baca, maka aku menciptakan Mata untuk baca. Kedua
kata itu terbersit seketika
dalam benakku
saat dikejar deadline tulisan dan aku
lagi-lagi aku kekurangan bahan.

“Ah, lintasan pikiran
yang sekejap akan lesap jika aku tak menuliskannya,” begitu pikirku sembari
mengeja setiap ide yang berkelebatan. Beberapa waktu lalu, aku mengikuti perkuliahan Mata Kuliah Umum (MKU) Bahasa Indonesia. Pokok
bahasan dalam pertemuan kala itu adalah tentang diksi dan kalimat efektif.
Sang dosen yang terlihat (masih?) muda itu mulai memaparkan materi
perkuliahan. Pemaparan materinya dikemas menarik dan apik. Ia menggunakan banyak referensi baik dari
buku, berita, seniman, tokoh masyarakat maupun pakar ilmu pengetahuan. Dari pemaparannya aku membuat hipotesa bahwa ia
senang membaca.
“Kenapa
ada orang yang tak bisa berbicara(bisu)?” tanyanya. Seketika, satu pertanyaan tersebut membuyarkan lamunanku pada pemaparannya.
Beberapa mahasiswa menjawab dengan spontan “takdir pak”.Ruangan sedikit ramai dengan cekikikan
mahasiswa.
Secara logika, orang tak bisa berbicara karena ia tak
bisa mendengar. Tak ada suara yang bisa ditiru. Tak ada bahan yang bisa diungkapkan.
Sama halnya seperti menulis. Menulis membutuhkan bahan. Dan bahan itu bisa
didapatkan dari bacaan. Segala
yang bisa dibaca adalah teks, termasuk fenomena saat ini.
Menurutku, suara
dan tulisan berbeda. Suara lebih ditekankan
pada
intonasi sedangkan tulisan lebih akrab dengan diksi. Pemilihan kata dalam
tulisan, erat kaitannya dengan perbendaharaan kata.Lagi-lagi membaca.Membaca
dapat memperluas perbendaharaan kata, membuka cakrawala, menambah pengetahuan
dan bahan untuk tulisan.
Terkadang aku berfikir,berapa puluh buku yang dibaca oleh
setiap
penulis untuk menciptakan sebuah buku yang berkualitas? Pasti sangat banyak. Untuk sebuah
artikel saja aku harus menamatkan tiga judul buku dan satu jurnal. Jumlah
bacaan pasti lebih banyak dari pada tulisan yang dihasilkan.
Dengan membaca kita bisa menemukan gaya bertutur kita
sendiri, bermula meniru kemudian dalam prosesnya kita akan menemukan gaya
tulisan kita sendiri. Tak hanya bahan untuk tulisan,  buku juga bisa jadi bahan untuk berdiskusi,
berbincang
dengan teman, dosen, orang tua dan orang-orang disekitar kita.
Banyak fakta, data dan cerita yang terkadung dalam sebuah
buku. Dulu, aku
tidak begitu menyukai buku, aku lebih menyukai film. Tapi, sekarang aku mulai mencintai buku,
membawanya kemanapun aku pergi, meski hanya satu dua halaman yang sempat ku
baca.
Buku menyadarkan aku bahwaTuhan menciptakan mata adalah
untuk membaca.“Iqra’,” firman
pertama-Nya kepada Rasullullah. Buku memuat banyak pengetahuan, bahkan aku bisa berkeliling
dunia tanpa bernajak satu inch pun.Setidaknya dalam kepalaku. Pepatah
yang mengatakan bahwa buku adalah jendela dunia memang benar. Seorang kawanku mengatakan bahwa manusia
bisa dikatakan hidup karena berpikir, dan menurutku buku tercipta dari hasil dari pemikiran. Buku adalah tanda
kehidupan.
Aku ingin menulis,
karena aku mahasiswa. “Publish or Perish,” begitu semboyan yang diimani dalam
jagat intelektual. Aku ingin hidup abadi. Setidaknya, dalam kepala pembacaku.

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *